Konflik Makin Keras, Dua Kubu PPP Abaikan Mahkamah Partai

Konflik Makin Keras, Dua Kubu PPP Abaikan Mahkamah Partai Massa PPP dalam acara kampanye

JAKARTA(BangsaOnline) Jalan islah yang difatwakan Ketua Majelis Syariah , KH Maimun Zubair dan putusan sela Mahkamah Partai untuk mengakhiri konflik dan dualisme kepengurusan DPP tampaknya sulit terwujud. Pasalnya, kedua kubu yang berseteru masih berkeyakinan sebagai pihak yang paling benar dan akhirnya tidak mau memulai proses islah.

Loyalis Suryadharma Ali yang juga Ketua DPP Fernita Darwis mengatakan jalan islah sudah selesai ketika islah jilid pertama tercapai. Dengan demikian katanya, konflik yang terjadi saat ini hanya bisa diselesaikan melalui islah di forum muktamar VIII.

"Islah ini merupakan hal yang sakral dan tidak bisa untuk mainan. Dulu konflik, terus islah jilid I. Sekarang konflik lagi, terus minta islah lagi? Bagi kami, islah jilid II hanya bisa terwujud di muktamar. Ini nggak lama lagi kok, tanggal 23 Oktober nanti," kata Fernita Darwis di Jakarta (Minggu, 28/9).

Selain itu, dia juga menilai bahwa Mahkamah Partai tidak berhak memerintahkan kedua kubu untuk islah. Sebab, Mahkamah Partai hanya bertugas menelaah, menganalisa, dan memutuskan hal-hal permasalahan terkait konstitusi partai, terutama pelanggaran AD/ART.

"Kalau islah itu wewenang Majelis Syariah, bukan Mahkamah Partai. Jadi, saya berharap Mahkamah Partai bisa memberikan analisa hukum pada orang-orang yang sudah melanggar konstitusi partai," katanya lagi.

Dia juga menjelaskan pengurus harian DPP partai berlambang kabah itu memiliki kewajiban menjalankan dan melaksanakan sepenuhnya keputusan Muktamar. Menurut Aanggaran Dasar , dalam pasal 51 menjelaskan muktamar PP itu bertujuan untuk menetapkan program PP, menetapkan khitoh perjuangan partai dan memilih ketua umum.

"Maka jika ada pengurus harian tidak melaksanakan muktamar,yang berisi ketiga tujuan tersebut maka sama saja kader merobek-robek anggaran dasar.Selain itu tugas dan kewajiban pengurus harian DPP,di pasal 16 berisi kalau tidak melaksanakan, maka itu pelanggaran berat. Emron, Romy dan Suharso cs,itu sudah dikenakan sanski pemecatan dan pemberhentian," paparnya.

Menurutnya, pasal 10 yang digunakan Romahurmuziy cs sebagai rujukan untuk memberhentikan SDA juga salah. Pasal ini justru hanya bisa digunakan oleh Ketua Umum untuk memberhentikan anggota DPP dan bukan untuk ketum.

"Pasal ini justru untuk memberikan kewenangan pada ketum untuk memecat anggota dan bukan anggota memecat ketum. Dengan pasal ini ketum pun tidak bisa semena-men memecat anggota. Jadi aneh kalau pengurus yang memecat dengan menggunakan pasal ini,” tegasnya.

Secara logika sehat saja menurut Fernita, kalau memang pemecatan yang dilakukan oleh SDA yang merupakan ketua umum hasil muktamar dikatakan tidak sah terhadap kader-kader yang dulu diangkatnya setelah muktamar, maka seharusnya pengangkatan terhadap mereka tidak sah juga.

"Sebab yang mengangkat dan memecat adalah orang yang sama dan yang diangkat dan dipecat juga orang yang sama. Jadi jelas dari logika saja mereka tidak nyambung dan inkonsisten, pengangkatan mereka oleh SDA sah, tapi pemecatan tidak, ujarnya heran.

Oleh karena itu menurut Fernita, Muktamar adalah salah satu jalan untuk islah. SDA akan meletakan jabatannya pada para pemilihnya dalam muktamar.

"Kalau menggunakan analogi bernegara, SDA mengembalikan mandatnya pada rakyat dalam muktamar. Presiden tidak bisa dipecat oleh mentrinya dan hanya kepada rakyat mandat dikembalikan. Untuk anggota yang sudah dipecat, maka dia juga tidak berhak lagi berada dalam muktamar," tegas Fernita.

Sumber: Rmol.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO