Sumamburat: Petualangan Koruptor

Sumamburat: Petualangan Koruptor Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

DARI Malang menuju Bekasi. Begitulah aksi KPK dalam melakukan gerakan senyap OTT yang melibatkan para bupati kedua daerah itu. Simbul para koruptor kian menjalar dari daerah ke daerah untuk merapatkan barisan sambung-menyambung menjadi satu kekuatan. Kali ini sangat kentara bahwa petualangan mereka menyertakan kosmologi baru yang melibatkan korporasi, persis dengan yang dulu pernah terhelat di DKI Jakarta yang melakonkan anggota DPRD, meski pihak pengembangnya terus melanggang tanpa mampu disergah oleh KPK. Konstalasi adu kuat antara yang anti rasuah dengan para koruptor tak membuat jengah para pereguk kuasa mengingat eks koruptor masih diberi “penghargaan” boleh melenggang ke parlemen atas restu MA.

Ketahuilah bahwa Mahkamah Agung telah merustui mantan koruptor berlaga dan ini mengusik geliat berdemokrasi yangmenjunjung tinggi moralitas, bukan sekadar legalitas. Reaksi publik saat itu tampak gusar dengan Putusan MA yang memperkenankan mantan koruptor menjadi caleg. Sebagaimana dilansir berbagai media bahwa harapan kini bertumpu kepada parpol. KPU berharap parpol memiliki komitmen moral dengan menarik calegnya yang pernah menjadi terpidana kasus korupsi. Ternyata kepala daerah yang kena OTT KPK dipastikan menyandang predikat “orang partai” peserta pemilu.Maka biarlah khalayak merespon dengan tanya yang menggelegak, yang menggambarkan betapa lukanya hati mereka.

MA membangun argumentasi yuridis yang diunggah menggiring negara hukum (rechtsstaat) selaksa negara undang-undang abad pertengahan (de staat in formele zin). Asal tidak dilarang berarti boleh. Sebuah nalar yang memasung makna negara hukum menjadi negara regulasi yang jauh dari nilai etik. Putusan MA mengerdilkan hukum sebatas deretan ayat-ayat positivistik yang tidak menjangkau esensi kaedah moral rakyat yang menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa. MA mutlak memedomani basis moralitas yang mengajarkan kepatutan agar hukum memiliki “rasa”, bukan semata-mata “frasa”. Sikap menjaga integritas dianggit pilihan utama MA untuk menentukan legislator yang mampu mendengar lirihnya suara moral di tengah panggung pileg yang hiruk pikuk. MA merupakan puncak peradilan yang di tangannya harkat negara hukum dipertaruhkan.

Pasal 24 UUD 1945 memformulasi bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 24A UUD 1945 menentukan: MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Sungguh mulia benar derajat MA itu. Buatlah rakyat Indonesia menatapmu bagaikan “mahkota hukum” dan obor penerang yang memandu agar rasa keadilan hadir di setiap jiwa warga negara. MA musti tahu dan ingat Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Pesan fundamental etika politik dan pemerintahan ini adalah agar orang yang bersalah (karena korupsi misalnya) untuk tahu diri sudi menepi.

Suara rakyat jelas betapa jahatnya tindak pidana korupsi sehingga semangat reformasi 1998 menghadirkan institusi khusus untuk “menggempurnya” berupa KPK. Janganlah gelombang kesadaran anti korupsi ini dibendung dengan menggunakan “tembok hukum” yang mengingkari moral negara yang tertuang di Pancasila.MA tidaklah elok membuat supremasi legal yang meminggirkan moral. MA niscaya memahami kebutuhan untuk menghadirkan hukum yang memanggul rasa keadilan yang bernilai moral tinggi. Sudah tiba saatnya agar hukum sebagai “a set of rule or norm” dikembangkan dengan mengelaborasi hukum ke alam “social order”  yang bermoral, beretika. Para hakim MA selayaknya memiliki sensitivitas untuk mengkaji setiap gerak hukum dalam standar good governance yang berbasis moralitas bangsa.

Untuk mengukur eks koruptor layak nyaleg atau tidak sejatinya MA tidak membutuhkan “kesatria (hukum) lain” apabila setiap orang menyadari betapa korupsi itu haram adanya. Dalam hal ini saya terhanyut dalam kebenaran yang diliterasi oleh Don Quixote, tokoh sentral dalam novel besutan penyair Spanyol, Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616). Don Kisot merupakan cerita kesatria kesiangan yang mampu menyihir pembacanya untuk percaya kepada seluruh imajinasinya. Novel Don Quixote de la Mancha seperti kitab yang membius dunia dan telah dibaca bermilyar orang sejak terbit perdana tahun 1605. Don Quixote seolah berkhotbah dengan penuh wibawa kepada MA: “Kau tahu apa tentang kesatria dan prajurit? Bagi seseorang yang mematuhi hukum kesatriaan tak perlu memperhatikan hukum yang lain”. Ya … siapa saja yang membopong nilai kesatria sedasar negara hukum Pancasila, tidaklah perlu aturan yang lain untuk menhentikan petualangan koruptor di rimba dewan ataupun pemerintahan. Jangan lupa kini ada di perusahaan pula.

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO