Sumamburat: Tarian di Reruntuhan

Sumamburat: Tarian di Reruntuhan Dr H Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

DUKA menggumpalkan kisah sekaligus narasi cerita yang bersambung membalutkan tragedi lingkungan dan kemanusiaan yang tiada terperikan. Beribu-ribu orang yang menjadi korban gempa di Palu maupun Donggala menyayatkan perihnya luka dan sesaknya nestapa yang tertindih sampai hari ini. Reruntuhan rumah, gedung dan bangunan masih terserak membentuk formasi yang tidak dapat dibaca maknanya selain kesengsaraan. Air mata menetes mengalirkan sapa yang berkembang menjadi sungai peradaban yang menghanyutkan apapun yang punya rasa. Anak-anak negeri ini lantas terpanggil menggalang dana bantuan dan seruan doa serta helatan shalat ghaib untuk mereka yang menghadap Tuhan lebih cepat dari yang diperkirakan. Para relawan datang dengan kesugguhan.

Suasananya sangat ritmis dan melankolis dengan alunan nada-nada permohonan kepada-Nya yang memenuhi ruang-ruang tempat peribadatan dan kelas-kelas pertemuan. Bangku-bangku kuliah di kampus-kampus dan dampar-dampar ngaji di langgar, mushollah dan masjid-masjid pun ramai dipenuhi buncahan kesetiakawanan. Suporter bola berjajar di ujung-ujung jalan untuk menengadahkan tangan mengetuk hati setiap pengendara agar sudi berbagi. Saya sangat salut dengan ikhtiar mereka termasuk oleh para pengendara angkutan online. Ini adalah potret diri dari kerumunan yang selama ini hanya dilihat sebatas urusan ekonomi dan suporter bola pun hanya dilirik. Tetapi beberapa waktu ini mereka sangat cekatan dalam melangkahkan kehendak untuk memberikan pelajaran bahwa mereka juga manusia Indonesia yang dapat bermanfaat untuk sesama. Salut.

Dalam telungkup semangat rakyat yang bersedia menorehkan harkatnya membantu korban bencana alam itulah, maka sangat disayangkan apabila ada aktor-aktor yang menarikan “jogetan politiknya”. Laku bohong dipertontonkan dengan segala bentuk ekspresi pengakuannya untuk membohongi seluruh rakyat serta subjek medsos. Sang pengaku itupun telah menggiring dirinya untuk memenuhi jalan hukum yang sedang ditempuhnya. Lantas di panggung realitas terdapat sesahutan untuk saling menabuh gamelan yang iramanya sangat semrawut tanpa pakem. Sorot kamera dan berita yang menggelinding adalah betapa riuhnya celoteh atas “aktor kebohongan nasional” itu.

Laporan soal hoaks akhirnya meneguhkan niatan bahwa panggung politik itu tengah bergeser menjadi areal lapor-melaporkan dan ancam-mengancam atas dusta-dusta yang dilontarkan. Kecerdasan beraduk rata dengan keculasan dan kejujuran berselimutkan kebohongan yang membenturkan sisi kebenaran menjadi labil dengan alibi. Para tokoh sibuk menguras energinya tentang “kabar bohong” dan di sisi yang lain lorong panjang bencana terkadang terselip dalam ranah yang tersembunyikan. Pekabaran disorong lagi dalam kancah IMF yang ramai bersidang untuk membahas nasib banyak orang meski tiada tahu apa manfaatnya selain kecurigaan yang kian menggelegak. Bank Dunia dan IMF memberikan citra diri yang menggerogoti anggaran karena negara harus memberikan “sambutan” sebagai lambang tuan rumah yang mengerti toto kromonya: gupuh-lungguh-suguh. Begitulah piwulang dalam bebrayan yang pernah diajarkan sebagai lambang kejujuran dan kesopanan yang dipintal oleh adat moyang kita.

Dalam langgam gemuruh yang riuh atas suara khalayak yang kian tidak ada batas-batas etiknya di urusan perebutan jabatan, para cendekia pun menjadi terlirik tolah-toleh tidak mampu bersuara sedasar ajaran independensi pikirannya. Lahirlah kaum terpelajar yang terkesan menjadi hulubalang dan semua larut untuk berteriak asal lantang. Semuanya telah teraduk dengan sangat cepat dan setiap sesi menyajikan warna yang khas agar tidak ditampik tanpa dimengerti arah anginya terlebih dahulu. Gemerlap Asian Games 2018 yang lalu menjadi sangat sempurna dengan gawe besar Asian Para Games 2018 yang diselenggarakan di Jakarta. Sebuah agenda yang semakin memantapkan ajang acara yang penuh warna di kawasan yang terdengar banyak bencananya namun optimisme telah dituai dengan keyakinan. Maka panggung Nasional XXVII Tahun 2018 di Medan kian melengkapi arti negara yang menunjung tinggi jiwa spiritualitasnya.

, Asian Para Games 2018 menjadi pijar yang membuka semangat baru di tengah hiruk pikuk politik yang daya destruktifnya menyedot porsi tersendiri hingga awam lupa lagi mana yang harus dibantu. Di Asian Para Games 2018 itulah terjadi pula besitan laku yang amat kotroversial atas nama regulasi olah raga. Sebuah regulasi yang tidak menjamah arti penting iman. Atlit Blin Judo asal Aceh Barat, Miftahul Jannah didiskualifikasi karena tidak manut untuk sudi membuka jilbabnya. Dan dia bertahan meneguhkan tingginya “harga imannya” daripada insentif medali yang hendak diraihnya. Ini luar biasa dan sambung pula dengan prestasi Kbabib Abdulmanapovich Nurmagomedov yang kini ramai menjadi bincangan atas capaiannya yang berlandaskan integritas diri. Sebuah diri yang menjulangkan martabatnya sendiri dengan berpegang teguh atas kekukuhan tauhidnya. Ini adalah pelajaran bagi siapa saja yang terus menggoyangkan “lidahnya sambil menarikan nyayian di reruntuhan gempa” atas nama tuan rumah yang “berbudi pekerti”.

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Sumber: Suparto Wijoyo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO