Tafsir Al-Isra 7: Al-Ihsan, Versi Burung dan Semut

Tafsir Al-Isra 7: Al-Ihsan, Versi Burung dan Semut

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .   

In ahsantum ahsantum li-anfusikum wa-in asa'tum falahaa fa-idzaa jaa-a wa’du al-aakhirati liyasuu-uu wujuuhakum waliyadkhuluu almasjida kamaa dakhaluuhu awwala marratin waliyutabbiruu maa ‘alaw tatbiiraan (7).

Meskipun suatu bangsa atau individu teramat brutal dan memang sangat memenuhi syarat untuk dihukum, tetapi Tuhan tetap membuka tangan rahmat-Nya yang maha luas. Yang mau berbuat baik, maka akan mendapat balasan kebaikan. "In ahsantum ahsantum li-anfusikum". Siapa yang berbuat kejahatan pasti akan menuai balasannya. "wa-in asa'tum falahaa".

Mufassirin bersilang faham, kepada siapa ayat ini mengarah?. Pertama, kepada bangsa Israel, hal itu sesuai alur kisah mereka seperti yang diunggah oleh ayat kaji sebelumnya. Kedua, peringatan bagi kaum kafir yang kala itu amat jahat dan menindas nabi dan para sahabat, dan ketiga nasehat bagi umat islam sendiri, dulu, kini, dan mendatang. Artinya, semua umat manusia perlu merenungi ayat ini sebagai panduan hidup. Tidak hanya kelompok, bahkan individu.

Nabi mewejang, bahwa doa orang yang dizalimi itu pasti terkabulkan kontan, saat di dunia. Tak ada sekat antara dia dan Tuhan. Soal bentuknya apa, itu otorita Tuhan. Meskipun seseorang benar-benar berbuat salah, tetapi tidak harus terus menerus dipersalahkan dan dihukum. Jika hukuman masuk level qisas atau hadd, maka supermasi hukum wajib ditegakkan, kecuali ada pengampuanan dari yang bersangkutan.

Pembunuh yang sadar total, memberi konpensasi sesuai aturan dan meminta maaf kepada keluarga korban, lalu keluarga korban memaafkan, maka tidak boleh dihukum mati. Pencuri, perampok yang menyerahkan diri sebelum tertangkap, mengembalikan barang dan meminta maaf, maka tidak boleh dipotong tangan.

Berdasar asas maslahah, penegak hukum, hakim boleh memberi hukuman takzir atas mereka, seperti dipenjara ringan sebagai pelajaran. Tapi sekadar bertobat setelah membunuh sekian banyak orang tanpa ada pernyataan memaafkan dari semua pihak korban, maka hukum qisas tetap melekat pada si pembunuh. Hakim tidak boleh menggugurkan, karena bukan wewenangnya.

Kisah berbuat baik yang menuai kebaikan setimpal, "In ahsantum ahsantum li-anfusikum" telah terilustrasikan pada keikhlasan seekor burung yang melihat ada sekor semut kecemplung air dan terbawa arus. Hitungannya pasti mati tenggelam.

Mendengar sang semut berteriak meminta tolong, sang burung mengambil daun kering dan dijatuhkan tepat di dekat semut yang sedang berusaha menyelamatkan diri tadi. Semut berhasil menaiki daun dan dengan izin Allah daun itu menepi. Semut lompat ke darat dan selamat.

Hari berikutnya ada pemburu yang sedang mengincar burung tersebut, mau ditembak. Burung itu tetap santai dan bersiul-siul riang tanpa menyadari di bawahnya ada laras senapan telah mengarah kepadanya. Semut mengetahui sang burung yang kemarin menolong dia sedang dalam keadaan bahaya, lalu segera merambat dan menyusup ke lengan baju pemburu.

Begitu pemburu memutuskan hendak menarik pelatuk senapan, tepat saat itu semut menggigit keras-keras bagian ketiaknya hingga membuat si pemburu kaget. Kekagetan tersebut membuat tangannya bergerak reflek, sehingga arah bidikan melenceng jauh dari sasaran. Burung itu selamat dan cepat-cepat kabur.

Begitulah, amal itu kadang dibalas langsung dan setimpal. Menyelamatkan nyawa, nyawanya diselamatkan. Tapi ada beda, saat burung menolong semut, si semut mengerti bahwa dia ditolong oleh burung. Andai tidak, bisa mati dia.

Tapi saat si semut menolong burung hingga lolos dari bidikan pemburu, si burung tidak mengerti kalau keselamatan dirinya itu atas jasa semut, ditolong semut. Burung tentu beranggapan bahwa selamatnya dia murni karena keberuntungan dirinya. Dalam jurnal sufistik, keduanya telah beramal baik, tapi amal Semut lebih ikhlas dan lebih bersih. 

Sumber: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO