“Kami melakukan perawatan ekstra. Tiap hari ke rumahnya. Setelah melahirkan, kami baru bisa memberikan obat. Alhamdulillah, bayinya lahir selamat. Sekarang usianya lima bulan. Ini anak ketiga. Anak pertamanya sudah lulus SMP,” ceritanya.
Tak hanya membentuk kader. Liana bersama timnya, juga membetuk posyandu ODGJ. Tim itulah yang memberikan terapi kelompok; mengasah otak, mengasah kemampuan, dengan merangsang permainan agar penderta mau bergabung dengan temannya.
“Tiap pulang, pasien juga kami beri pekerjaan rumah. Harus dikerjakan sendiri, agar ada kegiatan. Jangan sampai bengong. PR itu berupa keterampilan. Kami juga mengganti biaya yang dikeluarkan untuk membuat keterampilan itu,” ungkapnya.
Liana berharap, ada posyandu ODGJ di tiap desa. Karena posyandu hanya ada di Puskesmas induk. “Kami sudah mengajukan permintaan di Puskesmas. Semoga ada rawat inap untuk ODGJ. Karena pasien kami lumayan banyak, jika terjadi relaps sewaktu-waktu, dengan tenaga kami 24 jam agak kesulitan. Kalau ada rawat inap ODGJ kami bisa meng-cover,” harap dia.
Soal prestasinya sebagai tenaga kesehatan teladan, Liana menganggap itu hanya bonus. “Saya melakukan dengan tulus, selain menjalankan tupoksi. Saya merasa tergugah ketika melihat ODGJ. Slogan kami; jangan panggil dia gila. Dia adalah aku.”
Kepala Puskesmas Dongko dr Singgih Wahyudi Priyo Utomo mengakui, program Posyandu jiwa perlu mental mental luar biasa. Dia hanya bisa mensupport tenaga, pendanaan, dan fasilitas. “Untuk pasien ODGJ tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada komitmen dari keluarga, lingkungan, kadernya dan petugasnya,” pungkasnya. (mid/rev)
(Liana bersama tim dan Kepala Puskesmas Dongko)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News