Sumamburat: “Istihsan”, Pilkada dan Kenaikan BBM

Sumamburat: “Istihsan”,  Pilkada dan Kenaikan BBM Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

PILKADA yang coblosannya berlangsung Rabu, 27 Juni 2018 lalu itu memang sangat fenomenal dalam memberikan pelajaran kepada yang jumawah untuk mau merendahkan hatinya.

Koalisi partai-partai jumbo yang menguasai parlemen lokal acapkali menyuarakan konklusi waktu pendaftaran waktu itu bahwa pilkada dianggap sudah rampung dengan kemenangan “kumpulan” yang menyuarakan dirinya paling nasionalis.

Bahkan “imaji” itu direntang sebagai anugerah manunggaleyang religius dan kebangsan dalam tengkurap yang pas. Santri dan abangan menyatukan diri dalam gumparan parpol yang mendapatkan energi partai kaum cendekia Islam yang beratribut pergerakannya syarat militansi.

Pun dukungan juga disemat dari tokoh yang selama ini dikenal mencoba beroposisi. Dari sudut pandang persentase suara kedewanannya, pastilah paslon ini akan mampu memenangkan palagan dengan sangat mudah.

Tetapi suara rakyat memang penuh misteri walaupun semburat jiwanya sudah amat terang ke mana arahnya. Mestinya partai-partai itu paham bahwa kebanyakan umat sejatinya sedang mencoba beringsut menghindari “serudukan” berbagai kebijakan “sang petugas” yang menggelisahkan.

Adalah suatu “kekaburan sikap pimpinan parpol” apabila tidak mampu menjabarkan “tanda-tanda” zaman bahwa pemegang daulat sudah sangat jengah akibat keputusan otoritasnya bertindak di luar batas kemampuan warganya.

Di kantong-kantong yang selama ini diyakini sebagai “kandangnya” terbaca menuai persoalan. Itulah jawaban rakyat yang paling nyata betapa deritanya telah sedemikian rupa beratnya untuk dibopong. Rakyat kebanyakan terhuyung dalam sikon yang mencekam, tetapi tokoh-tokoh parpol sibuk untuk memuji gairah mobilitas yang dimudahkan dari infrastrukur yang konon “menggunungkan hutang”.

Ini semua telah mengkristal menjadi batu yang menindih di atas puing-puing reruntuhan daya beli rakyat. Rupiah yang terengah mengikuti dolar Amerika Serikat masih saja dijustifikasi sebagai “kewajaran” di ranah “kekurangajaran”. Tersengalnya rupiah diterima dengan senyam-senyum seolah tidak bersalah untuk tidak mengatakan “sedemikian sempurna ketidakmengertiannya dalam memahami keadaan”.

Khalayak kemudian berpikir lebih hati-hati bahwa sejatinya dolar memang sengaja dibiarkan melambungkan diri dengan imbalan menyungsepkan rupiah agar “pundi-pundi investor politiknya” terus membesar sebab yakinlah bahwa tabungan mereka ada dalam bentuk dolar, bukan rupiah.

Inilah potret bagaimana rupiah tidak berdaulat di negerinya sendiri karena “penakluk Ibu Pertiwi” justru menimbunnya dalam bentuk non rupiah, demi “ternak uang” yang anakannya akan menguntungkan buat biaya “prosedur demokrasi” yang terus dipermainkan.

Sumber: Suparto Wijoyo*

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO