Sumamburat: Senja di Pantai Timur

Sumamburat: Senja di Pantai Timur Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

DEBAT perdana Kandidat Gubernur Jawa Timur telah dihelat 10 April 2018 lalu dan terus mengiangkan diksi dan intonasi kata “kemiskinan” selama saya mengikutinya dalam perjalanan. Pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak dan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno hendak membangun persepsi atas visi yang diusungnya. Debat itu saya simak melalui media sepanjang melintas jalanan kota usai menyaksi “rumitnya kehidupan” saat senja di Pantai Timur Surabaya. Iklan dan celoteh terus berkembangdengan seruan yang nyaris tunggal: inilah lahan investasi paling menjanjikan. Puja puji pembangunan kawasan bakau yang memukau menghiasi warta sesuai selera penguasa. Di titik ini saya menyaksi seperti halnya di belahan lahan metropolitan, ada gelisah di tengah “senggama perkotaan”yang semakin liar.

Ya … Surabaya telah berkembang dalam gerak dinamik yang mencengangkan. Surabaya Timur memancarkan pesonagerakan properti yang segera disambut Surabaya Barat untuk saling merapat memperkuat aliran modal yang memikat. Surabaya Selatan melontar moda transportasi demi cepatnya arus orang, barang dan jasa yang digaet Surabaya Utara agar menyilang sempurna membulatkan pusat urban. Kota ini mekar tanpa jeda dan kini sedikit tersedak akibat lahan konservasi diPantaiTimur yang disekat-sekat. Arealnya dikavlingsambil berkelit sedikit legal. Tanah diperebutkan dan hak-haknya diperjualbelikan. Antara sengaja dan kekhilafan dicampur menjadi satu adonan kosa kata ketidaktahuan.

Surabaya ini kota yang setiap jengkal kawasannya diatur penggunaan ruangnya. Perda Kota Surabaya No. 12 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya Tahun 2014-2034 merupakan dasar hukum rujukan. Perda ini dibuat dengan pertimbangan untuk mewujudkan pembangunan Kota Surabaya yang berkelanjutan, yang penataan ruang wilayahnya secara berdayaguna, berhasilguna, serasi, selaras, dan seimbang. Arahan penataan ruang wilayah yang berkelanjutan ini dapat terwujud jika didukung keterpaduan pembangunan antarsektor dan antarpelaku.

Betapa idealnya Perda dimaksud yang mengusung visi Penataan RuangKota Surabaya adalah terwujudnya Kota Perdagangan dan Jasa Internasional Berkarakter Lokal yang Cerdas, Manusiawi dan Berbasis Ekologi.Khusus untuk strategi pengembangan kawasan perumahan dan permukiman dilakukan dengan tetap meningkatkan kualitas lingkungan. Pantai Timur adalah inti konservasi yang harus dijaga kelestarian fungsinya sebagai unit pengembangan wilayah laut. Kawasan sistemik sekitar Tambak Wedi,Kenjeran, Bulak, dan daerah pantai timur di Mulyorejo, Sukolilo, Rungkut dan Gunung Anyar harus dilindungi tatanan ekologisnya.

Kawasan sempadan pantai merupakan ruang yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan RTH, pengembangan struktur alami dan buatan, untuk mencegah bencana pesisir, kegiatan rekreasi, wisata bahari ekowisata, penelitian dan pendidikan, kepentingan adat dan kearifan lokal, pertahanan dan keamanan, perhubungan ataupun komunikasi.Fungsi yang demikian semerbak menjalar di kawasan sempadan pantai yang berada di Kecamatan Benowo, Asemrowo, Krembangan, Pabean Cantian, Semampir, Kenjeran, Bulak, Mulyorejo, Sukolilo, Rungkut, dan Gunung Anyar. Kawasan pantai tersebut dikembangkan sebagai kawasan RTH yang terintegrasi dengan pengembangan kota yang berorientasi waterfront city, pelabuhan, hankam, perkapalan, dan wisata alam maupun buatan.

Pesan utama seluruh hukum tata kota Surabaya mentahbiskan Pantai Timur adalah areal konservasi. Tetapi kini, faktanya, di samping masalah jual-beli tanah kavling maupun drama tanah oloran, telah bertengger pula “bukit properti”. Pembelokan garis konservasi dan merajalelanya broker tanah di Pantai Timur adalah cermin adanya gumpalan penyalahgunaan ruang. Publik kini menyorot dan aparatur punya gawe untuk menuntaskannya.

Banyak kota besar di dunia yang memberikan pelajaran berharga. Setiap penyalahgunaan kawasan konservasi pantai yang semula dimaksudkan sedemikian “imajinatifnya” untuk warga kota, pada prakteknya justru meminggirkan “warga miskin”. Saat senja di Pantai Timur itu saya menatap gembira seliweran ragam burung yang silih berganti sebagai “karapan hijrah” atau “koloni para pengembara”. Ada damai di sana, tetapi jengkal kontraksi yang menyembulkan gejolak eko-sosiologis sedang dirancang dengan implikasi terjauh “tawur kemiskinan” melawan “burjois kota” yang semakin merangsek ke pinggiran. Kota menjadi dikepung mulai dari kawasan pantai, melingkar dan menjerat komunitas kota. Apa yang terjadi adalah suasana kegerahan yang dipersiapkan. Kemiskinan dan kepadatan penduduk akan mengerucut di setiap sudut Pantai setelah “menghabisi” pusat kota, dan kondisi ini sangat berbahaya. Di Pantai Timur berselubung reklamasi diam-diam dan saya khawatir ini menjadi memendam bara akibat yang miskin terus dipinggirkan sebelum “dibuang” dari geliat pilkada. 

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO