​Sumamburat: "Persekutuan Orang-orang Gila"

​Sumamburat: "Persekutuan Orang-orang Gila"

Perjuangan meraih otoritas negara dengan “mengorganisir orang-orang gila” adalah wujud ketidaksanggupan melakukan “parade kecerdasaan” dengan menuang “genderang keculasan”.

Hadirnya orang-orang gila dalam pentas yang meretas di pinggiran perebutan jabatan pemerintahan pada dasarnya diawali oleh “pemain-pemain waras”. Orang-orang waras yang tidak tahan menghadapi realitas menjadi sangat tertekan jiwanya, karena khawatir tidak dapat menggapai “mimpi berkuasa” yang sangat emosional. Terhadap hal ini situasinya persis seperti yang dianalisis oleh Jean-Paul Sartre dalam karyanya Theory of The Emotions (1962).

Emosi orang-orang itu merefleksikan sebuah keadaan yang terjadi berulang-ulang dalam situasi yang sulit dan hal ini bukanlah soal karakter, melainkan soal perasaan yang fluktuatif. Berarti “kegilaan orang-orang” pembunuh ulama memenuhi kategori model “perasaan yang fluktuatif” itu. Jangan-jangan nanti usai pilkada atau pilpres dan “pemasoknya” menang, dia akan singgah membopong mahkota kekuasaan. Dan untuk selanjutnya mereka tidak akan menyorongkan periode pertumpahan darah, melainkan berkhotbah di pentas untuk “membadut dalam viral pencitraan”.

Ada sindiran apik dari Mikhail Alexandrovich Bakuni (1814-1876), seorang ideolog paling terkenal di Eropa, di buku Statism and Anarchy yang ditulis di Rusia pada musim panas 1873. Dia menerangkan: “… jalan pertempuran yang tepat tidak diinginkan para pemimpin dan politikus partai … mereka lebih aman dalam pertempuran tidak berdarah di parlemen … sebagai lembaga untuk latihan retorika”.

Hadirnya orang-orang gila yang pandai memilih momentum untuk membangun kerumunannya, saya menjadi semakin tertarik membaca Kitab Kebijaksanaan Orang-orang Gila (‘Uqala’ al-Majanin) yang ditulis Abu Al-Qasim An-Naisaburi yang terbit pertama kali 1987. Buku ini memuat 500 kisah muslim genius yang dianggap gila dalam sejarah Islam, ditulis 1000 tahun lalu.

Terdapat mutiara hikmah yang banyak dari pustaka ini: Wahai Sa’dun, mengapa engkau tidak bergaul dengan masyarakat? Sa’dun bersyair: Menjaulah dari orang-orang supaya mereka menyangkamu takut. Tak perlu kau menginginkan saudara, teman dan sahabat. Pandanglah manusia dari manapun kau suka. Maka yang akan kau lihat hanyalah kalajengking.

Kalajengking itu bisa pula berupa siswa yang “memberi bogem mentah” kepada Guru Budi (Achmad Budi Cahyanto), guru honorer di SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura. Ini juga barisan “kegilaan yang mewabah” di dunia pendidikan.

Akhirnya kita kembali merenungi dalam hening di kala ramai sambil istirah menyimak Serat Kalatidha Ranggowarsito: Zaman Edan: Amenangi zaman edan; melu edan ora tahan; yen tan melu angklakoni boya keduman, bejo-bejone kang edan, luwih bejo kang eling lan waspodo. Jadi ingatlah pitutur luhur Eyang Raden Ngabehi Rangga Warsita (1802-1873) alias Bagus Burhan ini di saat ada “persekutuan orang-orang gila”.

*Penulis merupakan Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum serta Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO