Tafsir Al-Isra 1: Imam Masjid, Pemandu Ibadah yang Diabaikan

Tafsir Al-Isra 1: Imam Masjid, Pemandu Ibadah yang Diabaikan Ilustrasi. foto: kabarmakkah

Mereka yang setiap langkahnya serba atas dasar kemaslahatan agama, kemaslahatan umat islam itulah sesungguhnya yang disebut sebagi mukmin beneran. Tidak sama dengan orang yang keislamannya tipis atau sok toleran, lalu lebih suka belanja ke toko milik nonmuslim, padahal ada toko milik muslim yang sama, bahkan lebih bagus dan lebih murah, juga lebih mudah aksesnya.

Jika pemerintah Batam mendukung masjid punya usaha bisnis dan umatnya suka berbelanja ke sana, lain ceritanya di daerah Jawa Tengah. Seorang muslim mengajak hal senada kepada masyarakat dengan memasang spanduk bertuliskan "Ayo belanja ke pribumi". Spanduk dibredel dan yang memasang dipanggil polisi dan diinterograsi. Memang tidak ditahan, tapi membuat rakyat setempat kecewa.

"mina almasjidi ilaa almasjidi" juga mengisyaratkan bahwa setiap sikap, perilaku, atau tindakan seorang muslim harusnya berdasarkan "masjid". Berangkat dari titik pijak ibadah menuju "masjid", ke tujuan ibadah. Dari ibadah ke ibadah. Dengan kata lain, bahwa jiwa ibadah, keimanan, ketaqwaan, harus mendasari kiprah ekonomi, politik, sosial dan lain-lain.

Bagaimana dengan statement yang sering kita dengar, bahwa jangan membawa agama, menjadikan masjid untuk kepentingan politik? Beberapa sinyalemen bisa dikedepankan di sini, antara lain:

Pertama, jika yang dimaksud adalah menjadikan fisik masjid sebagai kegiatan politik tentu saja tidak baik. Konteks sekarang, politik kini penuh kepentingan duniawi yang notabenenya beraroma "busuk", maka tidak pantas menggunakan masjid.

Kedua, bagi umat islam, segala tindakan termasuk politik justru harus atas dasar agama. Berpolitik dengan niat ibadah, maka jadilah kiprah politiknya itu amal ibadah berpahala. Berpolitik, berkuasa hanyalah sarana, dan bukan tujuan. Maka muslim harus mempuyai kuasa demi terselenggaranya ibadah umat lebih bagus.

Ketiga, jika yang dimaksud dengan larangan tersebut adalah keseluruhan, termasuk tidak boleh menggunakan agama dalam berpolitik, maka tesis itu pasti lahir dari pandangan "kafir", yakni mengingkari agama sebagai landasan orang beriman. Atau orang yang tidak mengerti prinsip keagamaan atau muslim lemah iman atau sedang punya kepentingan duniawi. Jangankan berpolitik, berperang pun harus atas dasar agama. Itu namanya jihad fi sabilillah, di mana yang gugur dijamin surga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO