Tafsir Al-Isra 1: Imam Masjid, Pemandu Ibadah yang Diabaikan

Tafsir Al-Isra 1: Imam Masjid, Pemandu Ibadah yang Diabaikan Ilustrasi. foto: kabarmakkah

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .   

Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).

"...mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa". Terma dari masjid ke masjid juga mengisyaratkan bahwa memakmurkan masjid justru lebih perlu diperhatikan. Diisi dengan kegiatan apa masjid yang telah megah dibangun itu? Lalu siapa yang mengisi? Apakah hanya karena alasan keamanan, lalu masjid dikunci rapat-rapat setelah isya' hingga subuh? 

Satu sisi aman, tapi sisi lain menunjukkan behwa warga setempat benar-benar tidak punya agenda bangun malam untuk iktikaf dan munajah malam hari di masjid itu. Andai penduduk setempat doyan ibadah malam, maka pasti masjid itu ramai dan tidak perlu dikunci. Hikmahnya banyak, mereka yang beramal jariah, yang mewakafkan makin banyak kiriman pahala, umat menjadi shalih dan desa makin makmur berlimpah rejeki dan keberkahan.

Begitu halnya dengan mereka yang memakmurkan masjid, utamanya imam shalat rawatib. Negeri ini mayoritas berpenduduk muslim dengan APBN atau APBD tinggi, bahkan beberapa daerah PAD-nya sangat tinggi. Daerah tertentu, mendanai klub sepak bola, karnaval, pentas budaya mampu dan berlebih. Tapi umumnya semua daerah sangat tidak perhatian terhadap kesejahteraan imam masjid. Brunei Darussalam, Malaysia, apalagi Arab Saudi, adalah negara yang memperhatikan kesejahteraan imam masjid.

Sampai hari ini, pemda Batam tercatat paling perhatian menyervis para imam masjid. Selain diperhatikan kesejahteraan hidupnya, juga ditingkatkan keilmuannya demi layanan ibadah lebih baik. Tidak hanya itu, takmir masjid Batam juga punya supermarket, di mana para jamaah sadar akan pentinggnya memakmurkan masjid dari sisi ekonomi, sehingga lebih memilih belanja ke swalayan milik masjid ketimbang ke toko milik pribadi, apalagi milik nonmuslim yang tidak jelas.

Di samping ada personal yang sangat perhatian terhadap kesejahteraan imam masjid, hasil dari bisnis takmir masjid setempat sangat membantu, sehingga gaji imam masjid Batam cukup lumayan. Malahan, di daerah Bali yang notabenenya mayoritas nonmuslim, ada yang memberi honor guru ngaji al-Qur'an Rp. 300.000,- per bulan. Bagaimana dengan daerah anda yang mayoritas muslim dan PAD-nya tinggi?

Mereka yang setiap langkahnya serba atas dasar kemaslahatan agama, kemaslahatan umat islam itulah sesungguhnya yang disebut sebagi mukmin beneran. Tidak sama dengan orang yang keislamannya tipis atau sok toleran, lalu lebih suka belanja ke toko milik nonmuslim, padahal ada toko milik muslim yang sama, bahkan lebih bagus dan lebih murah, juga lebih mudah aksesnya.

Jika pemerintah Batam mendukung masjid punya usaha bisnis dan umatnya suka berbelanja ke sana, lain ceritanya di daerah Jawa Tengah. Seorang muslim mengajak hal senada kepada masyarakat dengan memasang spanduk bertuliskan "Ayo belanja ke pribumi". Spanduk dibredel dan yang memasang dipanggil polisi dan diinterograsi. Memang tidak ditahan, tapi membuat rakyat setempat kecewa.

"mina almasjidi ilaa almasjidi" juga mengisyaratkan bahwa setiap sikap, perilaku, atau tindakan seorang muslim harusnya berdasarkan "masjid". Berangkat dari titik pijak ibadah menuju "masjid", ke tujuan ibadah. Dari ibadah ke ibadah. Dengan kata lain, bahwa jiwa ibadah, keimanan, ketaqwaan, harus mendasari kiprah ekonomi, politik, sosial dan lain-lain.

Bagaimana dengan statement yang sering kita dengar, bahwa jangan membawa agama, menjadikan masjid untuk kepentingan politik? Beberapa sinyalemen bisa dikedepankan di sini, antara lain:

Pertama, jika yang dimaksud adalah menjadikan fisik masjid sebagai kegiatan politik tentu saja tidak baik. Konteks sekarang, politik kini penuh kepentingan duniawi yang notabenenya beraroma "busuk", maka tidak pantas menggunakan masjid.

Kedua, bagi umat islam, segala tindakan termasuk politik justru harus atas dasar agama. Berpolitik dengan niat ibadah, maka jadilah kiprah politiknya itu amal ibadah berpahala. Berpolitik, berkuasa hanyalah sarana, dan bukan tujuan. Maka muslim harus mempuyai kuasa demi terselenggaranya ibadah umat lebih bagus.

Ketiga, jika yang dimaksud dengan larangan tersebut adalah keseluruhan, termasuk tidak boleh menggunakan agama dalam berpolitik, maka tesis itu pasti lahir dari pandangan "kafir", yakni mengingkari agama sebagai landasan orang beriman. Atau orang yang tidak mengerti prinsip keagamaan atau muslim lemah iman atau sedang punya kepentingan duniawi. Jangankan berpolitik, berperang pun harus atas dasar agama. Itu namanya jihad fi sabilillah, di mana yang gugur dijamin surga.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO