Sumpah Memanggil Indonesia

Sumpah Memanggil Indonesia Suparto Wijoyo.

Jong Java yang lahir pada 1915 dari pemuda berpendidikan elite Belanda menginspirasi hadirnya Jong Sumatranen Bond 1917, Jong Celebes 1918, Jong Minahasa 1918, Sekar Rukun 1919 maupun Jong Batak Bond 1925. Menurut Benedict Anderson seperti dikutip Keith Foulcher (2008) tampak dimana kepenyatuan para pemuda ini dilatarbelakangi oleh kesamaam pendidikan dengan keterbukaan terhadap norma barat termasuk konsep kemandirian politik dan kebangsaan.

Tentu lembar historiografi penyelenggaraan Kongres Pemuda II dengan hasil kolektifnya yang berupa Sumpah Pemuda adalah wujud peneguhan menjadikan Indonesia ini kesatuan politik yang mengalirkan “air bah” kemerdekaan yang kita “timba”17 Agustus 1945. Perang kemerdekaan ditempuh pemuda dengan kesadaran mempertahankan cita-cita dari rong-rongan “koalisi strategis” Belanda, Inggris, dan Jepang dalam kendaraan “Parpol Sekutu” yang mengabaikan Proklamasi Kemerdekaan. Di Surabaya lahirnya Resolusi Jihad selaksa sabda agung NU yang dipandegani Hadratusyaih KH Hasyim As’ari, 22 Oktober 1945. Inilah dasar hukum religius yang memanggil santri untuk berjihad menjaga NKRIsecara revolusioner dan nasionalisme dimatangkan.

Kalau segmen sejarah ini dibaca dengan tartil dan kewarasan, maka tidak sepantasnya penyelenggara negara menumpahkan air mata derita dengan tragedi SPSK maupun “bertayamum” pulau-pulau buatan di negara yang memiliki 17.508 pulau. Kejadian demi kejadian atas peristiwa “membuat rakyat putus asa” akibat adanya praktek “fulusiah yang brutal” dengan puncaknya yang berupa korupsi adalah penghinaan terhadap Sumpah Pemuda.

Memang pihak yang haus “kehendak dunia” bertendensi mengatur dan mempermainkan nasib negara agar berlumur penghinaan yang di dalamnya mestinya pula kasus BLBI. Panggung hukum harus memberikan pemulihan kepercayaan kepada aspek yuridis yang selama ini ditoreh menjadi alatyang dapat diterapkan sesuai dengan karep yang kuasa.

Saya tetap percaya bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya tidak “ber-DNA” korupsi,karena ada prinsip hidup sak madio. Suara batin yang saya tangkap adalah bahwa bangsa ini sedang digiring penuh noda tanpa kehormatan. Hari-hari mendatang situasinya mengingatkan saya pada potongan puisi Alfred Victor Comte de (1797-1863) yangdisitir Albert Camus (1913-1960): “... tak lagi menemu, dalam kebajikan ataupun kejahatan setetes kenikmatan ... tidak juga dari dukalara yang melecutnya untuk mengambil tindakan”. Sebuah pesan yang mestinya para pemimpin memikirkan jangan sampai putra-putri milenialmerasadinihilkan tanpa teladan kebaikan. Bersumpahlah memanggil Indonesia penuh harkat dan martabat.

Oleh: Suparto Wijoyo

(Esais, Akademisi Fakultas Hukum & Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO