Kritik Ketum PBNU secara Terbuka Bertentangan dengan Kultur NU?

Kritik Ketum PBNU secara Terbuka Bertentangan dengan Kultur NU?

Oleh: M Mas'ud Adnan

SEJAK saya sekolah SD sudah sering menggambar lambang NU. Saya gak tahu kenapa. Padahal saya saat itu tinggal di desa, tepatnya di Patemon, Tanah Merah Bangkalan Madura. Mungkin karena abah saya sangat fanatik kepada kiai, meski abah saya bukan kiai (pedagang dan petani).

Ketika nyantri di Pesantren Tebuireng semangat ke-NU-an saya makin menjadi. Ini terbukti dari sangat sukanya saya membaca buku-buku dan artikel tentang NU. Maklum Pesantren Tebuireng selain didirikan Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari, pendiri NU, juga saat itu KHM Yusuf Hasyim, pengasuh Tebuireng salah satu ketua PBNU.

Pak Ud - panggilan Kiai Yusuf Hasyim - selalu memberikan infromasi kepada santri tentang peristiwa kekinian, terutama tentang NU. Bahkan kepengurusan PBNU hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang menghasilkan duet kepemimpinan KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga menggelar rapat perdana di Pesantren Tebuireng. Saat itulah saya yang masih remaja ngintip rapat para kiai besar tersebut dari balik jendela. Saat itu yang terdengar telinga saya pernyataan Kiai Ahmad Siddiq yang mengimbau agar setiap acara NU harus ada kiai yang pakai sorban agar jadi indentitas kultural NU.

Di pesantren Tebuireng inilah jiwa kewartawanan saya juga bersemi. Awalnya tulisan saya dimuat di Jawa Pos dan media nasional Jakarta. Semula ada dua pilihan dalam pikiran saya. Jadi penulis atau orator (saya pernah juara lomba pidato). Akhirnya saya salat istikharah di masjid peninggalan Mbah Hasyim Asy'ari dan ternyata saya mantap untuk menapaki profesi sebagai wartawan.

Apalagi saat itu saya juga membaca tulisan KH A Wahid Hasyim bahwa alumni pesantren tak harus jadi kiai, tapi bisa jadi apa saja, termasuk wartawan. Ternyata pilihan saya tak salah. Ketika Gus Dur jadi Presiden RI sempat menyampaikan keingingannya kepada Pak Dahlan Iskan bahwa beliau ingin punya koran harian. Spontan Pak Dahlan Iskan menjawab kalau di kalangan NU Gus yang pas mimpin koran ya Mas’ud Adnan. Dan itu dipidatokan Pak Dahlan Iskan di depan rapat para pimpinan media di bawah lingkungan Jawa Pos yang jumlahnya mencapai 165 lebih di seluruh Indonesia. Sayang Gus Dur tak lama mimpin negeri ini.

Saya juga terinspirasi H Mahbub Djunaidi, jurnalis dan kolumnis handal yang juga pendiri PMII dan salah satu ketua PBNU saat itu. Saat itu ada tiga penulis besar yang saya sukai, yaitu Gus Dur, Cak Nur dan Mahbub Djunaidi. Nah, salah satu tulisan Mahbud Djunaidi berjudul "Pergeseran Tata Nilai dalam NU" yang saat remaja saya baca berulang-ulang saya posting di bawah ini agar para sahabat dan aktivis NU yang mengaku lebih tahu tentang kultur NU dan jurnalistik bisa menyimak. Tulisan Mahbub Djunaidi itu dimuat Merdeka 12 Juni 1982. Benarkah ketua umum PBNU itu tabu dikritik? Selamat menikmati:

Buku Pramudya Ananta Toer yang ditulisnya di Pulau Buru memang dilarang. Tapi ada kalimat di situ yang menarik perhatian saya. Bunyi kalimat Itu: bersikap adil lah sejak dalam pikiran. Siapa bisa bantah kebenaran anjuran itu? Jelas saya, tidak.

Oleh sebab itu saya berusaha bersikap adil menilai kasus DR. KH. Idham Chalid. Sikap adil bukan saja mulai dalam pikiran, tapi juga ketika menuangkannya dalam tulisan ini. Sikap adil apa yang saya maksud? Begini. Dari sejak awal tahun 60-an saya mengidap sikap ganda terhadap diri DR. KH. Idham Chalid. Di satu pihak saya menyukainya, dan pada saat yang berbarengan saya menolaknya. Pergantian sikap yang satu ke sikap yang lain begitu seringnya sehingga sulit dihitung jari. Dan karena seringnya itu pula, maka segala sesuatu berjalan seperti tidak ada apa-apa. Bila laki-bini tiap menit bertengkar, para tetangga menganggapnya angin lalu. Tak seorang pun menyimak, kecuali meludah.

Apanya yang saya suka? Pertama karena dia kurus. Saya suka orang yang kurus. Kedua humornya tinggi. Saya suka humor, saya benci cemberut. Bukankah cuma binatang yang tidak suka tertawa? Ada memang saya dengar binatang kuda bisa tertawa, tapi saya kira itu bohong besar.

Dan apanya yang saya tolak? Sifat pelupanya yang tinggi. Ini memang manusiawi. Tapi jika kelewatan, masalahnya bisa jadi lain. Akibat sifat ini, sering dia bilang A pada saya dan bilang B pada lain orang. Padahal perkaranya itu-itu juga. Ini membuat saya tersandung-sandung. Padahal saya kurang suka tersandung-sandung itu. Kemudian saya juga kurang sepakat dengan kebiasaannya mengambang pada saat keputusan yang diperlukan. Bukankah tugas seorang pemimpin sebetulnya gampang saja: mengambil keputusan?

Bilamana seorang pemimpin tidak suka mengambil keputusan tegas yang jadi pegangan (tak peduli keputusan itu benar atau meleset), maka segala sesuatu akan jalan mengambang. Seperti layang-layang putus talinya, dan akan jadi rebutan anak-anak.

Atas dasar itu saya sering melancarkan kritik terbuka, kadang kala keras. Akibatnya sering membawa akibat fatal buat diri saya, tapi saya tidak peduli. Misalnya kasus yang menimpa harian “Duta Masyarakat”. Sebagai pemimpin redaksi koran partai NU, saya tidak begitu saja tunduk kepada jalan pikirannya. Berulang kali saya ditegur, tapi saya nekad. Saya percaya sayalah yang benar karena jurnalistik memang bidang saya. Apa akibatnya? Akibatnya tentunya pada suatu saat turun suatu keputusan yang isinya cukup jelas: Harian “Duta Masyarakat” dipecat selaku organ resmi partai NU! Kendati akhirnya rujuk lagi, tapi yang jelas harian resmi partai NU itu pernah jadi anak gelandangan.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO