Tafsir Al-Nahl 90: Tidak Siap Berdialog, Sebaiknya Jangan Menjadi Penceramah

Tafsir Al-Nahl 90: Tidak Siap Berdialog, Sebaiknya Jangan Menjadi Penceramah ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - "Inna allaaha ya'muru bial’adli waal-ihsaani wa-iitaa-i dzii alqurbaa wayanhaa ‘ani alfahsyaa-i waalmunkari waalbaghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruuna".

Dari dialog Jibril dan Nabi tersebut melahirkan berbagai hikmah, antara lain:

Pertama, varian teknik dakwah. Apa yang diragakan Jibril dan Nabi tersebut adalah pelajaran bagi kita dalam menyampaikan dakwah islamiah yang tidak hanya menggunakan satu metode saja, misalnya ceramah saja yang monolog dan monoton. Pesan agama bisa disampaikan dengan banyak cara dan salah satunya dengan cara drama atau peragaan berisikan dialog antar narasumber (Jibril dan Nabi). Jibril berperan mewakili umat yang datang meminta fatwa agama dan Nabi sebagai narasumber yang mampu menjawab setiap persoalan dengan tepat dan mudah dimengerti.

Kedua, pesan agama disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, bila perlu dengan menggunakan cara berbeda. Pertanyaan yang dilontarkan Jibril cukup singkat, yakni: Islam, Iman, Ihsan, hari kiamat. Tapi membutuhkan jawaban panjang dan memang begitu. Tidak hanya sekedar panjang-panjangan kata, melainkan harus padat dan mudah. Dari empat poin pertanyaan tersebut, dua pertanyaan pertama (islam dan iman) dijawab dengan bahasa deskriptif normatif. Yaitu dengan memaparkan rukun-rukun sesuai poinnya. Dijelaskan lima rukun islam dan enam rukun iman.

Tidak sama ketika Nabi menjawab persoalan Ihsan (berbaik-baik di hadapan Allah), di mana hal ini murni masalah hati, nurani, kejiwaan yang bernuansa psikologis. Maka Nabi tidak menggunakan bahasa normatif dan pointing seperti paparan mengenai islam dan iman, melainkan menggunakan bahasa aplikatif percontohan. Difatwakan, agar saat seorang mukmin beribadah kepada-Nya dengan kesiapan jiwa dan benar-benar menyakini, bahwa Allah SWT hadir di depannya, seolah-olah dia melihat Allah di depan matanya. Meski sejatinya tidak milihat dengan kasat mata, tapi meyakini bahwa Allah melihat dirinya. "ka'annaka tarah, wa in lam takun tarah fa innahu yarak".

Dari kalimat yang dipakai Nabi ini mengisyaratkan bahwa memang kebanyakan orang yang sedang ibadah, shalat memang tidak bisa melihat Allah dengan mata telanjang, tapi beberapa orang khusus bisa melihat Allah dengan mata hati. Orang yang beribadah dengan perasaan dilihat Allah pasti menghasilkan ibadah berkualitas. Ibarat seorang pekerja yang saat melakukan pekerjaan diawasi majikan, tentu akan bekerja sebaik mungkin dan selanjutnya pasti menghasilkan pekerjaan yang berkualitas.

Lain lagi dengan pertanyaan keempat, yakni soal hari kiamat, kapan akan datang?. Di sini, Nabi tidak menjawab karena memang di luar kemampuan manusia. Meskipun sederajat Nabi, tetap saja tidak punya kewenangan mengetahui itu. Hari kiamat mutlak otorita Tuhan dan hanya Dia saja yang mengetahui.

Untuk itu Nabi menyindir dengan bahasa "Wa ma al-mas'ul bi a'lam min al-sa'il". Orang yang ditanya tidak lebih mengerti ketimbang orang yang sedang bertanya. Sindiran Nabi ini bagai skak mat bagi Jibril, makanya, si Jibril cepat-cepat undur diri dan menghilang. Bila didalami, kira-kira melahirkan sinyalemen sebagai berikut:

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO