Tafsir Al-Nahl 75: Hidup Pakai Logika Majikan, Keimanan Pakai Logika Budak

Tafsir Al-Nahl 75: Hidup Pakai Logika Majikan, Keimanan Pakai Logika Budak

Pertama, ada orang yang dalam kehidupan sehari-hari menggunakan logika majikan, sehingga status sosialnya tinggi, asetnya banyak, kewibawannya mapan dan lain-lain. Begitu halnya dalam keimanan, dia juga menggunakan logika majikan, sehingga Tuhan yang dipilih adalah Tuhan kelas majikan, yakni Allah SWT. Dzat yang maha kuasa dan serba bisa. Mereka itulah orang islam.

Kedua, ada orang yang dalam kehidupan sosialnya berstandar majikan, pakai logika majikan sehingga dirinya berkelas dan prestisius. Tapi sayang, dalam berteologi menggunakan standar budak, memakai logika budak sehinga Tuhan yang dipilih adalah Tuhan murahan, Tuhan kelas budak yang banyak dijual-belikan pasaran. Tuhan palsu yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Itulah para penyembah berhala, para penyembah manusia, para penyembah selain Allah SWT.

Ketiga, ada orang yang dalam berkeimanan menggunakan logika majikan dan itu harga mati dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Inilah yang prinsip, sehingga komitmen teologiknya mantap dan kepada-Nya total berserah diri. Tapi dalam hal kehidupan duniawi, terserah alur nasibnya menggelinding, dia terima dengan lapang dada dan tangan terbuka. Tidak ada standar yang dia patok, tidak logika majikan dan tidak juga logika budak, baginya sama saja.

Bila ditakdir sebagai bernasib majikan, maka dia akan memanfaatkan semua miliknya untuk membeli ridha Tuhan. Surga sudah jauh-jauh hari dibooking, berapapun harganya. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi tempo dulu, seperti Utsman ibn Affan, Abu Bakr, Abdur Rahman ibn Auf dan lain-lain. Itulah yang disindir nabi sebagai orang kaya yang pandai bersyukur.

Bila saja garis tangan berkata lain dan nasib berjalan di atas logika budak, maka dengan senang hati mereka jalani. Bagi mereka, kemiskinan adalah anugerah, sehingga tidak berat-berat menanggung amanah. Ibarat turis plesiran, mereka melenggang tanpa barang bawaan apapun. Tidak repot, tidak ribet dan tidak banyak persoalan terkait barang bawaan.

Di sini, ternyata membeli surga tidak harus dengan uang, melainkan cukup dengan kesabaran. Inilah yang disindir Nabi sebagai orang-orang fakir yang bersabar. Abu Dzarr al-Ghifari, Abu Hurairah, Bilal ibn Abi Rabah, Khabbab ibn Art termasuk tokohnya. Justeru golongan ini yang lebih cepat dan lebih ringan langkahnya memasuki pintu surga ketimbang golongan yang pertama. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO