Luhut: Presiden Setuju Revisi UU KPK, Johan Budi Bantah Jokowi Terbitkan Surpres

Luhut: Presiden Setuju Revisi UU KPK, Johan Budi Bantah Jokowi Terbitkan Surpres Sejumlah guru besar dari berbagai perguruan tinggi memberikan dukungan kepada KPK, kemarin (19/2). foto: detik.com

Dia menegaskan, keseriusan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK masih diragukan. Sebab, tahun lalu, pemerintah yang justru mengambil sikap untuk menunda pembahasan. Padahal, sejak awal revisi UU KPK adalah inisiatif dari pemerintah.

Ia menyatakan DPR akan memeriksa apakah surpres dari Presiden memang sudah benar-benar ada. Kalau memang sudah ada, justru membuktikan pemerintah yang ngotot ingin revisi UU KPK terjadi. Sebab, pembahasan di DPR terkait revisi UU KPK apakah disepakati menjadi inisiatif DPR masih belum final.

"Kita lihat apa betul ada Surpresnya, karena itu yang kita ragukan juga dari pemerintah ada maju-mundur dalam beberapa hal," ujarnya.

Fadli menambahkan, secara sistem dan kebiasaan pembahasan UU, Surpres keluar setelah ada keputusan di sidang paripurna. Rapat paripurna sendiri sudah tertunda dari jadwal yang seharusnya ditetapkan hari Kamis (18/2) kemarin.

Jadi, saat ini keputusan apakah revisi UU KPK akan menjadi usulan DPR tergantung dari rapat paripurna depan. Suara fraksi pun belum bulat untuk mengusung revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Tiga fraksi, Gerindra, PKS dan Demokrat sudah menegaskan menolak revisi UU KPK jadi usulan DPR.

Sementara pengamat politik Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai perubahan UU KPK menguatkan kesan adanya pihak yang terganggu dengan kekuatan lembaga antirasuah itu. Menurutnya, fraksi-fraksi pendukung revisi melawan aspirasi publik.

"Bukan soal penguasa atau tidak, tapi siapa yang akan merasa terganggu atau tidak. PDIP, PKB, NasDem, mereka merasa penting untuk meredam kehandalan KPK dengan taktik melalui dewan pengawas," ujar Ray seperti dilansir Okezone.

Ray menambahkan, sikap Demokrat dan PKS yang berbalik, menunjukkan bahwa partai memang harus mewakili kepentingan publik. Terlebih dari sejumlah hasil survey, menunjukkan bahwa masyarakat resisten terhadap rencana DPR mengubah UU KPK.

"Masalahnya adalah, ada partai yang melihat reaksi publik negatif mereka mundur. Karena partai perwakilan kepentingan publik. Jangan dianggap publik tidak ngerti, terlalu naif. Seolah masyarakat tidak faham, DPR ngotot jalan terus. Kalau dari survey jelas masyarakat tidak pingin direvisi. Nah Demokrat, PKS menarik diri," imbuhnya.

Jika parlemen nekat merevisi UU KPK, Ray meramalkan partai yang mendukung perubahan tersebut bakal dihukum oleh publik. Caranya ialah, pada Pilkada mendatang, masyarakat akan apatis terhadap calon yang diusung oleh partai yang sepakat merevisi kewenangan lembaga antirasuah itu.

"Sanksi publik akan berpikir bakal memilih partai (pendukung revisi) itu atau tidak. Di pilkada kala ada kader gembar-gembor anti korupsi publik akan berpikir, lah lembaganya dilemahkan gimana sih," sambungnya.

Sebab itu, Ray menegaskan, partai yang menyepakati revisi sebagai wakil yang tak peka dengan aspirasi konstituennya. Mayoritas masyarakat, tidak menyepakati KPK diawasi oleh dewan pengawas sebagaimana diajukan oleh DPR melalui rencana perubahan UU KPK.

"Tanda-tanda publik marah kelihatan, biarkan aja nanti mereka akan dihukum publik. Mereka tidak punya hak moral karena publik mengatakan jangan dilanjutkan. Kalau para pemilik mandat mengatakan jangan dilanjutkan, hak moral gimana? bukan hanya tida peka tapi juga mau melawan aspirasi publik," tukasnya. (mer/tic/det/lan)

Sumber: merdeka.com/detik.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO