Soal Revisi UU KPK, Laode: Ada Kesepakatan antara Pimpinan Lama KPK dan Pemerintah

Soal Revisi UU KPK, Laode: Ada Kesepakatan antara Pimpinan Lama KPK dan Pemerintah Laode M. Syarif. foto: tribunnews

Sementara kemarin, sidang paripurna mengenai Revisi UU KPK di DPR batal digelar. Anggota Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas menilai, kembali ditundanya Rapat Paripurna DPR untuk mengesahkan revisi UU No.30 Tahun 2002 Tentang KPK menjadi usul inisiatif DPR, merupakan momentum untuk mendengarkan aspirasi rakyat.

"Penundaan paripurna bagus agar bisa melakukan konsolidasi dialog dengan partai lain supaya mendengar aspirasi publik untuk dibatalkan (RUU KPK)," katanya.

Supratman mengatakan, awalnya sikap penolakan terhadap revisi UU KPK hanya oleh F-Gerindra namun dalam perkembangannya diikuti oleh Fraksi Partai Demokrat dan juga Fraksi PKS.

Ia berharap sikap ketiga fraksi tersebut bisa diikuti fraksi-fraksi lainnya karena KPK dibutuhkan sebagai lembaga yang kredibel untuk dipertahankan dan menjadi trigger pemberantasan korupsi.

"Mudah-mudahan sikap fraksi lain bisa berkesesuaian tetapi prinsipnya Gerindra memberikan komitmen dalam pemberantasan korupsi," ujarnya.

Ketua Badan Legislasi DPR itu mengatakan terlalu naif apabila penolakan fraksinya itu dinilai sebagai pencitraan. Karenanya, Indonesia membutuhkan lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK sehingga bukan ingin mendapatkan apresiasi publik.

"Jadi bukan soal kamu mendapatkan apresiasi publik, itu penilaian publik. Kalau ada kader-kader kami (terkena kasus korupsi) tidak apa, ini konsekuensi demi kepentingan bangsa," katanya.

Menurutnya, KPK saat ini memang memiliki kelemahan namun caranya dengan memperbaiki "Standard Operation Procedure" (SOP) di internal. Karena itu dia menilai revisi UU KPK saat ini tidak tepat dan fraksinya tetap menolak revisi meskipun usul inisiatif pemerintah ataupun DPR.

"Dengan Gerindra tidak setuju, maka mekanismenya harus diambil pemungutan suara. Kalau satu orang anggota dewan tidak setuju harus diambil voting, apalagi satu fraksi yang tidak setuju," katanya.

Di sisi lain, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai, barter Undang-undang antara UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Tax Amnesty atau pengampunan pajak bagi para pengemplang pajak sangat dimungkinkan terjadi. Terlebih menurutnya, jual beli penyusunan UU itu memang sering terjadi.

"Itu sangat mungkin terjadi, karena jual beli penyusunan undang-undang itu memang praktik yang sering terjadi," katanya.

Donal melanjutkan, banyak hal yang bisa diperjualbelikan dalam hal penyusunan UU, mulai dari pasal, ayat hingga kalimat yang bisa disiasati demi keuntungan mereka sendiri.

"Soal ayat-ayat, pasal, soal kalimat, soal undang-undang juga sangat rawan (diperjualbelikan)," ucap Donal.

Sebelumnya, Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan adanya kemungkinan kesepakatan terselubung antara pemerintah dan DPR di balik rencana revisi UU KPK. Kesepakatan tersebut berkaitan dengan pembahasan RUU pengampunan pajak (tax amnesty) oleh DPR.

Bagaimana tidak, revisi UU KPK semula menjadi inisiatif pemerintah dan RUU Tax Amnesty menjadi inisiatif DPR. Tapi saat ini yang terjadi malah sebaliknya dimana RUU Tax Amnesty yang malah menjadi inisiatif dan prioritas pemerintah. (rol/mer/tic/yah/lan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO