Punya Murid Buzzer, Kebenaran Baru ternyata Kebenaran Palsu

Punya Murid Buzzer, Kebenaran Baru ternyata Kebenaran Palsu Dahlan Iskan.

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Para yang marak pada era pemerintah sekarang ternyata menimbulkan dampak sosial luar biasa. Mereka bukan saja telah banyak menimbulkan wacana provokatif dan negatif tapi juga cenderung adu domba, memelihara kebencian dan menista kelompok-kelompok yang berbeda. Celakanya, mereka mengklaim sebagai kelompok toleran. Padahal tindak-tanduknya intoleran.

Tapi benarkah para adalah murid dari ? Apa itu ? Benarkah itu muncul karena faktor

Jika Anda penasaran, sebaiknya simak tulisan wartawan kenamaan Dahlan Iskan di BANGSAONLINE di bawah ini. Selamat menyimak secara tuntas.

PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE

"Itu sih ," ujar seorang ilmuwan kedokteran dalam WA-nya kepada saya. "Tinggal sekarang mencari kebenaran yang asli," tulis Prof Dr Muhamad Nuh DEA, yang Anda sudah tahu, mantan menteri Kominfo dan menteri pendidikan di zaman Presiden SBY.

Begitu banyak saya menerima respons soal video yang viral itu: cuplikan pidato wisuda saya di perguruan tinggi yang Anda sudah tahu itu. Bahkan dua guru besar sempat bikin tulisan agak panjang. Satunya khusus untuk saya. Jangan dipublikasikan. Satunya lagi sebagai koreksi terhadap saya. Bukan soal isinya. "Gejala itu sudah agak lama," ujarnya. Soal isi video ia setuju banget. Tidak ada koreksi.

Sejak lama itu kapan?

"Sejak munculnya metode penelitian kuantitatif," katanya. "Karena itu saya menentang adanya penelitian kuantitatif," tambahnya.

Namanya: Profesor doktor beneran. Bukan sekadar HC. Ia kini menjabat ketua Senat Universitas Terbuka. Mengajar juga di situ. Asli Demak. Lebih tepatnya, pelosok Demak.

Prof Hanif pernah melakukan penelitian amat serius soal perubahan desa menjadi kelurahan. Sudah diterbitkan pula menjadi buku yang mendapat perhatian luas sampai MPR.

Banyak buku tentang pemerintahan daerah dan desa ia tulis. Salah satunya buku berjudul 'Pemerintahan Desa: Unit Pemerintahan Semu dalam sistem Pemerintahan NKRI.

Intinya: perubahan desa menjadi kelurahan itu merupakan pelanggaran yang serius atas konstitusi UUD 1945.

Saya sudah selesai membaca buku itu. Kapan-kapan kita bahan bersama.

Hari ini kita lagi bicara soal .

"Boleh dikata yang melahirkan '' adalah para peneliti kuantitatif," ujar Prof Hanif. "Sejak itulah ada . Bukan baru lahir di zaman medsos," tambahnya.

Peneliti kuantitatif, katanya, hanya meneliti persepsi responden. Bukan meneliti fakta. Fakta tidak diteliti. "Persepsi di-framing sebagai fakta lalu dimasifkan oleh menjadi kebenaran ilmiah" katanya.

Ia yakin yang memasifkan itu adalah para . Bahkan Prof Hanif menilai para adalah murid-murid peneliti kuantitatif persepsi.

Prof Hanif sekolah ibtidaiah dan tsanawiyah di pondok terkenal di Demak: Pondok Futuhiyyah Mranggen. Sampai kelas 2 berhenti. Lalu masuk kelas 3 di SMP swasta Sultan Agung di Semarang.

Lulus SMP Hanif masuk sekolah pendidikan guru, SPG –seperti istri saya. Kini jenis sekolah ini sudah tidak ada lagi.

Latar belakang ekonomi keluarga di desa membuatnya tidak mampu masuk universitas. Kebetulan, tahun itu pemerintah membuka Universitas Terbuka (UT). Jadilah Hanif mahasiswa UT angkatan pertama. Ia mengambil jurusan administrasi negara. Lalu mengambil S-2 di UI dan S-3 di Universitas Padjadjaran Bandung.

"Penelitian kuantitatif dengan metode survei skala Likert sebenarnya tidak meneliti apa-apa," katanya. Mereka hanya meneliti indikator-indikator konsep saja. Responden diminta pendapat sangat setuju setuju, kurang setuju, tidak setuju sangat tidak setuju terhadap indikator-indikator konsep.

Prof Hanif berkarir di UT. Ia ikut berperan mengembalikan UT menjadi universitas sebenarnya. Awalnya UT hanya semacam ''event organizer'': merekrut dosen non UT untuk semacam ''buka lapak'' di UT. Setelah itu UT punya dosen sendiri.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO