Tafsir Al-Kahfi 86-88: Blusukan Raja Dzu Al-Qarnain | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Kahfi 86-88: Blusukan Raja Dzu Al-Qarnain

Editor: Redaksi
Kamis, 13 Oktober 2022 13:44 WIB

Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

86. Hattaa idzaa balagha maghriba alsysyamsi wajadahaa taghrubu fii ‘aynin hami-atin wawajada ‘indahaa qawman qulnaa yaa dzaa alqarnayni immaa an tu’adzdziba wa-immaa an tattakhidza fiihim husnaan

Hingga ketika telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, dia mendapatinya terbenam di dalam mata air panas lagi berlumpur hitam. Di sana dia menemukan suatu kaum (yang tidak mengenal agama). Kami berfirman, “Wahai Zulqarnain, engkau boleh menghukum atau berbuat kebaikan kepada mereka (dengan mengajak mereka beriman).”

87. Qaala ammaa man zhalama fasawfa nu’adzdzibuhu tsumma yuraddu ilaa rabbihi fayu’adzdzibuhu ‘adzaaban nukraan

Dia (Zulqarnain) berkata, “Adapun orang yang berbuat zalim akan kami hukum. Lalu, dia akan dikembalikan kepada Tuhannya. Kemudian, Dia mengazabnya dengan azab yang sangat keras.

88. Wa-ammaa man aamana wa’amila shaalihan falahu jazaa-an alhusnaa wasanaquulu lahu min amrinaa yusraan

Adapun orang yang beriman dan beramal saleh mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.”

TAFSIR AKTUAL

Ayat kaji ini hingga ayat nomor 98 berikutnya mengisahkan tiga blusukan raja Dzu al-Qarnain. Pada blusukan pertama, bersama rombongan meninjau rakyat yang ada di belahan paling barat wilayah kekuasaannya, “maghrib al-syams”. Tidak ada keterangan pasti soal nama wilayah itu atau di negara mana sekarang.

Al-Qur’an hanya memberikan sifat-sifat dari daerah itu, yakni “maghrib al-syams” dan “‘ain hami’ah”. Maghrib al-syams yang artinya lokasi matahari terbenam menunjukkan daerah tersebut ada di wilayah paling barat yang perbatasannya ditandai dengan terlihatnya matahari terbenam. Bisa jadi, daerah itu berupa tanah lapang yang sangat luas atau dekat lautan atau pinggir pantai.

Kedua, “fi ‘ain hami’ah”. Daerah bertanah lembab, tapi ada unsur panasnya. Kata “hami’ah” seirama dengan kata “hamiyah”, seperti qiraah “Amir, Hamzah, dan Ali al-Kisa’iy” yang artinya panas.

Ka’b, sang pakar kitab samawi klasik ditanya tentang kata ini, bagaimana kitab al-Taurah berbicara tentang kisah ini? Ka’b al-Ahbar menjawab: “saya memahami itu adalah daerah bertanah liat yang legit dan menghitam”. Jika tafsiran-tafsiran di atas dirangkum dan diaktualkan sesuai kondisi sekarang, terbacalah bahwa daerah itu – mungkin – punya kandungan minyak yang sangat tinggi.

Apapun pemahaman kita, yang tidak benar adalah memahami kalimah tersebut (maghrib al-syams) secara harfiyah, text book, yakni kunjungan sampai ke tempat matahari terbenam secara persis dan fisis. Sebab kita tidak bisa ke sana dan tidak mungkin bisa ke sana.

Selanjutnya al-Qur’an membicarakan identitas penduduknya yang diilustrasikan sebagai masyarakat heterogin dan menengah. Ada yang shalih dan berbudi pekerti tinggi dan ada yang durhaka dan hobi berbuat onar. Terbaca ada banyak kerusuhan dan tindak pidana di daerah itu, tapi tidak ada supremasi hukum yang tegak dan mampu mengatasi. Maka kehadiran di daerah itu sungguh anugerah bagi masyarakat setempat, tepat, dan sangat diperlukan.

Dalam pertemuan bersama para tokoh, muncullah permohonan masyarakat agar Dzu al-Qarnain menyelesaikan secara hukum setiap perbuatan manusia sesuai aturan yang berlaku di wilayah kekuasaan sang raja. Di hukum atau diberi penghargaan.

Kunjungan pertama ini seperti kunjungan presiden ke daerah terpencil yang mana aturan-aturan di daerah tersebut bobrok dan tidak berlaku. Penguasanya zalim, kerusuhan terjadi di mana-mana, dan tidak ada yang mampu bertindak tegas. Lalu presiden turun sendiri bersama para menteri untuk meninjau dan melakukan perbaikan.

Keputusan seperti ini: Pertama, mereka yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai berbuat zalim dan melakukan tindak pidana, maka segera dihukum sesuai aturan. Perkara di akhirat nanti, terserah Tuhan, mungkin saja akan disiksa lebih parah.

amma man dzalam fa sauf nu’adz-dzibuh …” (87). Sedangkan mereka yang beriman dan berbuat kebajikan akan diberi penghargaan luar biasa dan segala urusan kehidupan dipermudah (88).

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa raja menerima laporan buruk dan dan laporan baik. Selanjutnya dia menyelasaikan laporan buruk lebih dahulu dengan mengambil keputusan adil, tegas, dan tuntas. Mereka dihukum tanpa ampun, tanpa pandang bulu, dan tanda-tunda. Baru menyikapi mereka yang berbuat baik, dihargai dan didorong agar lebih baik lagi.

Itu artinya, adalah pemimpin yang cerdas dan berlaku benar, sesuai arahan agama yang tertera pada akidah fiqhiyah, di mana pencegahan lebih diutamakan ketimbang perbaikan, “dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”. Dengan membuntu semua kenegatifan, maka peluang hal-hal baik lebih terbuka dan mudah. Petani yang cerdas mendahulukan pembasmian hama ketimbang memupuk tanaman.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.  

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video