​Sejarah Kelam G30S/PKI: Baddrut Tamam Selalu Terkenang Sosok Kiai Djufri Marzuki

​Sejarah Kelam G30S/PKI: Baddrut Tamam Selalu Terkenang Sosok Kiai Djufri Marzuki Ra Baddrut Tamam, Bupati Pamekasan, cucu almarhum KH. Djufri Marzuki. foto: istimewa

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Meski telah berlalu lebih dari setengah abad, namun peristiwa Gerakan 30 September/ di tahun 1965 masih sulit dilupakan. Pemberontakan menjadi sejarah kelam bangsa ini.

Tak terkecuali yang dialami Bupati Pamekasan, Baddrut Tamam. Bupati muda yang sarat prestasi ini mengaku selalu sedih bila memasuki akhir bulan September dan awal-awal bulan Oktober yang diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

"Sedih dan berduka atas peristiwa itu, karenanya kami mengajak kepada semua masyarakat untuk menjaga persatuan demi kejayaan Indonesia sebagai negara kesatuan. Ayo hindari tindakan-tindakan yang bisa meretakkan kesatuan dan persatuan kita sebagai satu bangsa yang beradab," tutur pria yang akrab disapa Ra Baddrut itu, Selasa (1/10).

Baddrut mengaku selalu terkenang sosok kakeknya KH. Djufri Marzuki, tokoh NU Madura yang tewas dibunuh simpatisan . Kiai Djufri merupakan Rais Syuriah PCNU Pamekasan. Ia dikenal sebagai Singa Podium karena ceramahnya yang selalu menggugah jamaah. Ia penceramah sekaligus orator.

Kiai Djufri adalah ulama yang disegani di masanya. Tak hanya di Pamekasan dan Pulau Madura, melainkan juga di level nasional. Orangtuanya KH. Marzuki dan Nyai Rofiah adalah keturunan Kiai Zubair, pendiri Pondok Pesantren Sumber Anyar di Tlanakan, Pamekasan.

"Kakek saya tewas karena dibunuh orang suruhan dalam perjalanan pulang dari pengajian. Beliau orang yang keras menentang di Madura. Sebelumnya beliau juga orang yang keras menentang penjajahan," beber politikus muda PKB itu.

Ketokohan Kiai Djufri terlihat ketika pemakamannya, hampir seluruh ulama di Madura hadir. Bahkan tokoh nasional KH. Idham Chalid pun hadir mewakili PBNU. Kiai Idham Chalid menyebut Kiai Djufri wafat karena membela kebenaran, membela NU dan wafat demi Islam. Karena itu, kewafatannya adalah syahid.

Kemudian Kiai Idham Chalid memberi nama pesantren yang dirintis almarhum Kiai Djufri dengan nama As Syahid al Kabir. Kebetulan pesantren itu belum memiliki nama.

"Saat ini yang harus dilakukan adalah mengisi nikmat dan bersyukur dalam bentuk menjaga dan mengisi pembangunan yang menyejahterakan. Karena kami merasakan sendiri pedihnya konflik antara ideologi di Indonesia," ujar Baddrut yang juga kader GP Ansor.

Mantan Ketua Umum PKC PMII Jatim ini mengingatkan, persatuan dan kemajemukan Indonesia adalah nikmat yg tak terhingga. Dengan mensyukuri nikmat persatuan dan mengisi pembangunan yang semakin maju serta mendorong kemakmuran yang merata dan berkeadilan. Maka bangsa ini akan semakin maju dan beradab.

"Dengan bersyukur dan menjaga persatuan, maka bangsa ini ke depan akan menjadi semakin maju dan beradab," pungkas mantan Ketua Fraksi PKB DPRD Jatim tersebut. (mdr/ian)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO