Sumamburat: Musim Berdebat

Sumamburat: Musim Berdebat Suparto Wijoyo

Secara sederhana biarlah para kandidat itu berdebat dengan tema maupun cara-cara yang diproduk oleh permusyaratannya. Debat yang berangkat dari permusyataratan kandidat mengakibatkan perdebatan yang spesial ala Indonesia.

Untuk itulah modal perdebatan ala barat yang saling menghujat diri pribadi maupun organisasi sangat memberikan citra negatif kepada penyerangnya. Padahal hal ini untuk menegaskan adanya karakter kepemimpinan yang memiliki visi besar bagi kemajuan. Tindakan menyerang lawan debat dengan mengungkit diripartai dianggapnya sebagai hal yang “melawan”.

Tapi ini lumrah saja sebab namanya saja debat, ya berarti kalau tidak berkenan silahkan didebat, termasuk geram yang dipertontonkan dengan “melintingkain bajunya” atau setarikan nafas untuk menghibur kondisi yang canggung dengan rileks, sambil berjoget atau berpijit.

Keduanya sangat berimbang antara keseriusan bekerja yang tidak mau diganggu waktu habis di panggung perdebatan, sementara yang satu rela untuk berimprovisasi agar debat tidak sebagai ajang membantai lawan.

Memang perdebatan yang kerap terjadi yang penting adalah agar para kandidat itu mengikuti aturan KPU dan siap mengadakan debat dengan jargon masing masing: Indonesia Maju atau Indonesia Menang. Keduanya memberikan harapan optimisme tentang Indonesia.

Soal program pastilah dapat ditilikdari mimpi besar yang meraka ajukan dan berbagai peran dalam berdebat antara capres cawapres. Dari depat terpotret simbul kekompakannya sekaligus biarlah menjadi momentum untuk merukunkan rakyat dan meneduhkan jiwanya.

Yang pasti debat bukanlah tindakan untuk menguliti kemampuan dan menjatuhkannya dalam benak khalayak. Debat tiadalah tempat menjagal antara para kandidat. Debat pilpres bukan arena penjagalan. Ingat jagal, jadi ingin melanjutkan kembali membaca buku The Killing Season: A History of The Indonesia Massacres, 1965-1966 karya Geoffry B. Robinson (2018).

Buku yang telah dialihbahasakan menjadi Musim Menjagal yang dipandang oleh Greg Grandin, Sejarawan dari New York University “sebagai laporan lengkap tentang salah satu kejadian paling brutal dalam sejarah abad ke-20”. Sebuah pandangan yang bagi saya sangat tendensius.

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO