Sumamburat: Eco-Leaders

Sumamburat: Eco-Leaders Suparto Wijoyo.

Berpuluh-puluh tahun kawasan lindung dipaksa melakukan bunuh diri ekologi (“ecological suicide”) dengan konversi lahan tanpa kendali. Hutan-hutan digerus berlahan tapi pasti untuk diubah menjadi areal pergudangan, kawasan industri tanpa konservasi, maupun properti yang nirekologi.

Penjungkirbalikan pemanfaatan ruang dipertontonkan dengan vulgar di era otonomi daerah. Ini semua harus dihentikan melalui pilkada 2018. Paslon harus tahu bahwa mengubah hutan menjadi “kebun raya” adalah pilihan yang membahayakan masa depan. Mengatasi banjir dan tanah longsor pastilah dengan merawat hutan yang berupa tegakan pohon, bukan ranting-ranting vegetasi “kebun jahe”.

Kebijakan perhutanan sosial mutlak menghadirkan penjaga-penjaga hutan, bukan penjarah paru-paru dunia. Laku sidakep pengawe-awe (main mata dengan perambah hutan) merupakan tindakan zalim secara ekologis, sehingga wajib dipungkasi. Konversi lahan hutan menjadi “ladang melon” yang berlangsung aksesif dan cenderung melegalisasi deforestasisaatnya dikoreksi total.

Jadikanlah pilkada 2018 sebagai tonggak penyelamatan negara dengan memilih pemimpin daerah yang pro lingkungan (eco-leaders). Hari-hari ini musti dihelat agenda strategis pembenahan tata kelola pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang bersendikan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan secara terpadu. Dengan demikian, orientasi pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengakibatkan defisit ekologi.

Pertumbuhan ekonomi yang inklusif bagi kinerja ekologi adalah opsi tunggal di era green century. Banjir dan kekeringan dapat dicegah dengan menghadirkan “Desa Hutan” dan “Kota Hutan”. Ini merupakan resolusi membangun negeri tanpa sengsara ekologi. Merehabilitasi, mereboisasi, dan mengonservasi kembali setiap kampung dengan membangun embung penampung air, lumbung pangan, gayung bersambung (irigasi) dan saung keamanan (siskamling) adalah kebijakan praktis yang mudah direalisir.

Kegiatan prioritas untuk mencegah banjir dan longsor maupun kemelaratan sosial dapat dimulai dari daerah-daerah penyelenggara pilkada. Mengabaikan hal ini berarti melakukan pembiaran “pementasan drama pembunuhan ekologi”dengan implikasi negatif dalam jangka panjang.

Kontestan pemilihan di daerah harus tanggap atas kerawanan kondisi geografis wilayahnya dan segera beranjak menawarkan visi ekologis. Tidakkah bencana selama ini telah memberikan pelajaran yang keras kepada para kandidat? Para paslon mesti berbenah dengan mengusung solusi ekologis.

Demokrasi tidak legitimate apabila hanya menghadirkan sosok-sosok serakah pemangsa sumber daya alam. Mengikuti saran brilian Jared Diamond melalui karya inspiratifnya, Collapse (2014): siapapun, perorangan, badan usaha dan negara dapat melakukan untuk menemukan cara mencegah peradaban ambruk karena dunia tak kuat menanggungnya. Selamat menyimak visi-misi lingkungan para calon kepala daerah, dan abaikan isu SARA. Our choice, eco-leaders.

*Penulis merupakan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO