Pandum Assakinah

Pandum Assakinah Suparto Wijoyo

Gundul gundul pacul cul gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul gembelengan

Wakul glempang segane dadi sak latar
Wakul glempang segane dadi sak latar

Sang gundul adalah warga yang dengan memanggul segala kepolosannya harus berbekal pacul. Cangkul adalah perlambang daya juang untuk menggali, menafkahi. Gembelengan merupakan gerak dinamis yang mempermainkan, dan apa akibat dari menggembelengkan rakyat (gundul) dengan pandum (cangkul) tempat peribadatannya, telah dijawab pada bait berikutnya. Penguasa (DPRD dan Pemkot Surabaya) tentu tidak boleh gembelengan menabrak tata-krama hukum keimanan rakyatnya.

Nyunggi berarti menjunjung tinggi di atas kepala dengan meletakkan wakul (bakul) sebagai wadah atau forma cita-cita rakyat, bejana amanat rakyat, tempat daulat tertinggi. Bagaimana implikasi tindakan menjunjung amanat rakyat dengan gembelengan?

Wakul kerakyatan itu akan terjatuh dengan konsekuensi segane (nasinya) ambyar memenuhi jalanan, membanjiri halaman rumah (dadi sak latar), merangsek Gedung Dewan dan Balai Kota. Nasi boleh diwerdikan kumpulan ekspresi cita-cita di kota ini. Kepentingan rakyat harus terus diselamatkan dalam “pandum” Balai Pemuda.

Gembelengan harus dicegah seberapapun beratnya, sesulit apapun medannya, segelap apapun ruangnya, selicin apapun tangga pencapainnya. Pemegang kuasa dilarang gembelengan, karena hal itu mengakibatkan guncangan. Meletakkan rakyat di atas kepala adalah pilihan dari jabatan yang mengerti hakikat supremasi demokrasi.

Kalaulah pemimpin gembelengan, maka tunggu tahapan berikutnya yang akan muncrat: Wakul glempang segane dadi sak latar. Dan dirobohkannya Masjid As-Sakinah merupakan tindakan gembelengan, sebelum semua diperjelas agendanya.

Saat itulah jamaah terpanggil menyimpuhkan “doa dan tahlil” bagi jiwa-jiwa yang mati rasa. Maka diksi kata “jiwa-jiwa mati” terlontar persis setarikan kenangan pada novel yang mampu membius pembacanya The Dead Souls, tulisan sastrawan besar yang lahir di Ukraina (1809) dan meninggal di Moskow (1852), Nikolai Vasilievich Gogol. Sebuah karya yang menukik menghunjam ke lubuk jiwa-jiwa mati pegawai licik yang ambisius guna memperoleh keuntungan dari manipulasi dan korupsi.

Sindiran yang dihantarkan oleh Gogol sangat rapi, humoris tetapi mengundang senyum yang “mengiris hati”. Senyum yang terasa “pahit-getir” dan menenggelamkan solidaritas di antara warga kota. Mengapa warga terkirimi “senyum meremehkan” dengan tidak diajak “rembuk perobohan” atas “tahtah tauhidnya”?

Akhirnya di sesi jelang tutup tahun 2017 ini, “air amerta, banyu urip” telah menggerojok “festival batin” KBRS yang dirajut dengan ikhtiar para ulama, hingga menyentuh kalbu insani DPRD dan Pemkot Surabaya. Kini “pernikahan perkotaan” membangun “mahligai ruhani” keluargaMasjid Assakinah sudah terikrarkan. Pandum itu dibangun kembali. Terima kasih dan selamat tahun baru 2018.

*Penulis adalah Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO