Pernikahan Kebangsaan

Pernikahan Kebangsaan Suparto Wijoyo

Penderitaan rakyat direkam amat jelas dalam tulisan Goenawan Mangoenkoesoemo mengenai Lahirnya Boedi Oetomo (1908-1918). Terdapat telisik kejadian yang sangat miris yang menimpa bangsa ini. Diceritakan sepenuh jiwa apa yang dirasakan penduduk Hindia Belanda di berbagai arena umum: di trem, di kereta api, di lapangan bola, kaum Bumiputra mempunyai nilai tidak lebih dari keset kaki, seperti seekor anjing yang dilempari batu oleh anak-anak di jalan besar.

Lebih dari itu, nestapa yang menggambarkan nasib kelam bangsa ini ditorehkan: di Hindia Belanda, saudara menemukan caci maki. Mereka sengaja menggunakan kata inlander (“pribumi”) untuk menyakiti hati, merendahkan, menjelekkan bahwa ini adalah bangsa yang malas, bodoh, jorok, kejam, tak tahu terima kasih, dan tak berperasaan. Inilah penghinaan yang diterima leluhur kita oleh kaum kolonialis.

Ungakapan “historis” Goenawan Mangoenkoesoemo sangat membekas di hati khalayak untuk membulatkan tekad Merdeka. Semangat yang tumpah “dijalanan” menjadi “gelombang pergerakan” yang akhirnya “memanen” kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang sampai jua di 22 Oktober 1945: Resolusi Jihad.

Ini adalah “sabda agung” para pinisepuh, ulama dan santri yang memiliki gairah kebangsaan. Sekutu yang memberi tumpangan kepada Belanda dengan “kolusi imperialis” Jepang-Inggris tetap tidak berdaya menghadapi “gerakan syariah” melalui Resolusi Jihad. 10 November 1945 mengerek tinggi-tinggi kehormatan NKRI di mata internasional. Hari Pahlawan menjadi tersemat spesifik di sebuah wilayah yang kini kenal sebagai Kota Pahlawan.

Ini adalah produk keberpihakan kebangsaan dengan “kelambu iman” Islam yang sangat super. Naskah Resolusi itu meliterasi dengan terang kewajiban menegakkan kemerdekaan Negara dan Agama Islam. Muslim sungguh-sungguh menggedor “langit keangkuhan” penjajahan dalam “lumatan bambu runcing” yang sudah berselubung “asmak” kesucian.

Hari ini pun Indonesia tetap mampu “mendongak” mengangkat hormat dan martabat. Pernikahan untuk menyapa sesama anak bangsa juga terselenggara. Buliran rias melati menyebarkan harum yang baunya tercium oleh jiwa-jiwa kemesraan. Melati terangkai dengan seonggok karangan bunga yang bermahkota Mawar.

Indah nian bunga ini menyimbulkan keteguhan cinta dan lambang keabadian asmara. Harum mawar bukan pada kelopaknya melainkan warna yang tajam merekam. Meski demikian, mawar tak elok pongah merasa mendominasi keindahan taman sari katrisnan Indonesia dengan “mengeluarkan” duri-duri tajamnya.

Bukankah duri tajammu bukan untuk “membubarkan” melati yang bersemi “gemar mengaji”? Ingatlah bahwa melati juga ingin berkontribusi pada “pesta negeri ini”, bukan hanya kau yang seolah kukuh menjadi “mawar” yang sering berlagak paling setia dengan falsafah negara.

*Penulis merupakan Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Presiden Jokowi Unboxing Sirkuit Mandalika, Ini Motor yang Dipakai':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO