Tafsir Al-Nahl 126, 127, 128: Tuhan Mengizinkan Balas Dendam?

Tafsir Al-Nahl 126, 127, 128: Tuhan Mengizinkan Balas Dendam? Ilustrasi

Akhir kata, pasukan islam kocar-kacir dan kalah. Korban di pihak Islam berserakan di mana-mana. Beberapa sahabat senior dimutilasi secara sadis dan biadab. Dirobek isi perutnya, dipangkas hidungnya, dicukil matanya, dipotong telinganya dll. Berita Nabi terbunuh disebar ke mana-mana sehingga membuat umat Islam tertegun dan gelisah.

Perang mulai reda dan semua meletakkan senjata. Abu Sufyan naik kuda sembari berteriak lantang dari kejauhan tertuju kepada umat Islam yang sedang berkerumun menderita kekalahan: “Apa di antara kalian ada Muhammad, ayo jawab. Nabi menyuruh para sahabat diam saja. "Hai, apa di antara kalian ada Abu Bakar?. Ayo jawab!," teriak Abu Sufyan.

Nabi menyuruh para sahabat diam saja. “Hai, apa di antara kalian ada Umar ibn al-Khattab?. Ayo jawab.” Nabi menyuruh diam.

Di sini, nabi hanya menyuruh diam, bukan menyuruh berbohong dengan mengatakan "tidak ada". Artinya, selagi masih bisa melakukan tindakan penyelamatan tanpa dosa, maka itu harus dilakukan. Diam tidak berarti mengiyakan dan tidak pula menafikan.

Kemudian, Abu Sufyan dengan lagaknya membuat kesimpulan sendiri: "Kalau begitu, berarti mereka sudah pada tewas di pertempuran ini".

Mendengar dirinya ditewas-tewaskan, Umar tidak mampu menahan diri dan melompat ke arah Abu Sufyan sambil menghardik: "Hai musuh Allah, tutup mulutmu. Perang belum selesai, tunggu pembalasanku nanti, akan kami sengsarakan kalian semua dengan izin Allah. Perang mulut terjadi dan rupanya Abu Sufyan keder juga, lalu mereka bergegas balik ke Makkah dengan yel yel memuji berhala Hubal.

Keadaan aman. Nabi menyambangi para syuhada' Uhud dan berdiri tepat di samping mayat paman Hamzah dalam keadaan dicingcang paling parah. Perutnya robek dan jantungnya diambil. Hindun-lah orangnya yang memakan jantung Hamzah mentah-mentah, tapi tenggorokannya menolak. Lalu dikunyah-kunyah saja dan dimuntahkan. Hindun sangat dendam karena ayahnya mati di tangan paman Nabi itu.

Berdiri di dekat jasad sang paman tercinta, Rasululah SAW mengangkat bersumpah: "La-umassilann bisab'in minhum makanak". Akan kucincang tujuh puluh orang dari mereka sebagai pembalasanku untuk dirimu, wahai paman".

Lalu ayat studi ini turun memberi nasihat. Bahwa, silakan membalas, tapi yang sepadan saja. "Wa-in ‘aaqabtum fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtum bihi". Seolah Tuhan berkata begini, " hai Muhammad, you, kalau mau membalas memutilasi, mencincang lawan, ya yang sepadan saja dan jangan berlebih. Tapi kalau mau memaaf dan bersabar, maka itu lebih baik. "Wala-in shabartum lahuwa khayrun lilshshaabiriina". Akhirnya nabi memilih memaaf dan bersabar, sehingga tidak jadi memutilasi. Lebih dari itu, Nabi lantas mengharamkan memutilasi orang yang sudah mati.

Begitulah orang kafir dulu, jika sudah membenci, maka perangainya sangat biadab, keji dan melampaui batas kemanusiaan. Memang tidak bisa dipukul rata, tapi kesadisan itu hingga kini masih terjadi dilakukan oleh mereka. Lihat tragedi di Turki dulu, lihat tragedi Bosnia, kekejaman pasukan Israel di Palestina dll. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO