Tafsir Al-Nahl 125: Penjual Madu dan Jamaah Tabligh

Tafsir Al-Nahl 125: Penjual Madu dan Jamaah Tabligh Ilustrasi

Pertanyaannya: apakah menawarkan agama Allah, apakah mengajak ibadah ke masjid, apakah mengajak umat manusia ke amal kebajikan, tidak-kah mestinya lebih siap mental dibanding si penjual madu? Ada empat prinsip yang wajib kami pegang teguh, yakni:

Pertama, tidak boleh bicara uang, dana dan sebangsanya. Jadi, masing-masing kami membiayai diri sendiri dan bagi kami, itu sama saja berinfaq di jalan Allah. Kedua, tidak boleh bicara politik. Kami tidak tahu politik, yang kami tahu hanya shalat dan masjid. Kami nyaris tidak pernah menonton tv.

Ketiga, tidak boleh bicara masalah khilafiyah. Khilafiyah itu pilihan seseorang dan kami mengikuti tradisi masjid yang kami singgahi. Dan keempat, kami dilarang membicarakan atau terlibat membicarakan (aib) pribadi tokoh. Semua orang islam adalah saudara yang menurut kami, semua baik-baik.

Seorang audien bertanya dengan nada menggugat: “... tapi meninggalkan keluarga dalam waktu lama itu tidak baik. Kan lebih wajib menjaga keluarga daripada berdakwah di luaran. Tetangga saya berantakan, istrinya kerja dan anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah. Ya, karena ayahnya tidak kerja seperti dulu, sering khuruj...”

Pembicara: “Khuruj itu wajib seizin istri dan segala kebutuhan rumah tangga wajib sudah siap. Tanpa kelengkapan yang tersedia di rumah, khuruj dilarang. Di mana-mana persoalan macam ini paling sering dihadapkan kepada kami dan berkali-kali kami sampaikan di hadapan jamaah. Kami tidak menutup mata, bahwa ada kawan yang sembrono macam itu. Inilah problem dan kami terus membenahi. Sama dengan anak nakal, murid nakal di mana-mana ada. Guru yang baik tidak lantas menutup sekolah karena siswanya ada yang nakal.”

Dakwah islamiah, apapun bentuknya adalah baik dan mengandung kebaikan. Pembicara yang tidak mumpuni, sungguh tidak enak didengar, bahkan meresahkan. Maka da'i mesti berbekal ilmu yang memadai, di samping tahu diri. Tahu diri inilah yang sering luput dari penceramah akhir zaman. Persoalannya, jika sudah terlanjur, di mana penceramah atau khatib sudah di atas mimbar menyampaikan wejangan, lalu apa sikap kita?

Asal tidak menyalahi syari'ah, kita wajib husnudz-dzan, berbaik sangka dan jangan dicemooh. Bagi anda, boleh jadi tidak ada yang bisa dipetik, karena materinya terlalu rendah. Tapi sangat mungkin ada orang lain justru berkesan, tertancap di hati dan bisa mengambil manfaat tanpa diduga, tanpa disadari oleh si khatib yang bersangkutan.

Seorang khatib tua berkhutbah sambil membaca teks dalam buku khutbah yang biasa di jual di toko. Para jamaah pada kriyep-kriyep, karena sama sekali tidak menarik. Ya, tapi bisa jadi ada yang meneteskan air mata, karena isi khutbah itu menusuk, mengenai diri pribadinya.

Tidak sia-sia angin dihembuskan dan senada dengan itu pepatah arab berujar: "Li kull saqith laqith", setiap buah yang jatuh, pasti saja ada yang memungutnya. Bagi anda yang berada, memang tidak tertarik buah matang yang tergeletak di tanah. Tapi tidak begitu bagi pengembala kambing atau anak-anak jalanan.

Meski begitu, khatib, penceramah tetap wajib membekali diri dengan ilmu yang memadai, agar pesan agama bisa dinikmati orang banyak, lagian fatwa benar dan tidak keliru. Tentang keseleo fatwa, ikuti kisah anak kecil di tafsir berikutnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO