Tafsir Al-Nahl 118-119: Antara Toleransi Sunan Kudus dan Ansor NU

Tafsir Al-Nahl 118-119: Antara Toleransi Sunan Kudus dan Ansor NU

Tidak hanya itu, kanjeng Sunan juga mendesain menara masjid Kudus dengan menggabungkan arsitek gaya arab, Jawa dan Hindu. Ada kubah dan ada pola kuil yang mencolok. Hingga kini nuansa Hindu pada menara itu masih tersaksikan. Sekali lagi, hanya sebatas karya seni belaka yang sama sekali tidak berefek apa-apa dan tidak merugikan apa-apa bagi umat Islam. Justru maslahahnya nyata-nyata ada.

Toleransi kanjeng Sunan Kudus ini senada dengan falsafah wong mancing ikan. Cost umpan yang dilempar ke perairan lebih sedikit dibanding dengan ikan buruan yang didapat. Inilah kecerdasan terpuji dari ijtihad kanjeng Sunan dalam menerapkan teori muqaranah (komparasi) berbasis ashlahiyah.

Sungguh tidak sama dengan masalah pemilihan kepala daerah, di mana calonnya ada yang nonmuslim, sementara ada calon yang muslim dan sama-sama punya plus-minus dalam kepemimpinan. Untuk persoalan ini, Tuhan sendiri turun tangan dengan menurunkan ayat-ayat suci yang pesannya tegas-tegas melarang seorang muslim memilih pemimpin nonmuslim.

Tidak sekadar melarang, Tuhan juga menunjukkan kebusukan-kebusukan mereka. Tidak saja Tuhan yang turun tangan, Rasulullah SAW juga mempertegas dengan tindakan nyata dalam sunnah fi'liyah. Lalu dikuatkan dengan praktik para sahabat, tabi'in hingga ulama' Nusantara ini tempo dulu.

Karena sangat besar risikonya dan sangat tinggi cost-nya bagi umat islam, makanya Rasulullah SAW, al-khulafa' al-rasyidun, para sahabat, para tabi'in, para imam madzhab, bahkan para wali songo tidak melakukan toleransi macam yang berpotensi merugikan umat islam. Itu bukan toleransi, melainkan bunuh diri.

Kiai Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa resolusi jihad melawan penjajah bukan tidak mengerti ukhuwwah wathaniyah, bukan tidak faham ukhuwah basyariyah, melainkan karena berukhuwah, bertoleransi pada kontek ini sangat tidak tepat. Mereka adalah nonmuslim yang merusak dan merendahkan martabat bangsa yang mayoritas muslim, makanya, wajib diperangi.

Resolusi jihad kiai Hasyim itu merupakan realisasi dari iradah Allah SWT, di mana Dia tidak sudi memberi peluang kepada orang-orang kafir menguasai orang-orang beriman. "wa lan yaj'al Allah li al-kafirin 'ala al-mu'minin sabila" (al-Nisa':141). Itulah sebabnya, maka sangat janggal jika ada fatwa, dalil agama yang membolehkan umat Islam memilih pemimpin kafir dalam kondisi normal, di mana pemimpin muslim ada dan mumpuni.

Kawan-kawan Ansor NU sekarang telah tega membuat bahtsul masail tandingan yang menentang keputusan bahtsul masa'il produk Syuriah yang mengharamkan memilih pemimpin nonmuslim. Ansor membolehkan dan publik sudah paham, bahwa Bahsul masail Ansor itu pesanan politik. Ini tragedi memprihatinkan sekaligus memalukan dalam sejarah NU, di mana fatwa kiai-kiai Syuriah dilawan oleh banomnya sendiri. Mudah-mudahan kawan-kawan Ansor segera sadar, bahwa sejatinya mereka berhasil memecah-belah kita, antara sesepuh NU dengan anak mudanya.

Andai ada Nash yang dipaksakan menjadi dalil bolehnya muslim memilih pemimpin nonmuslim, maka apakah harus disajikan utuh begitu saja tanpa pakai kearifan kedua?

Semisal, apa itu perlu disajikan kepada nonmuslim sebagai dalil penguat? Apa pula maslahahnya bagi agama dan bagi umat islam? Yang berpikiran jauh begini ini sirna dalam pikiran Ansor sekarang.

Ibarat aneka makanan yang disajikan di meja, maka orang pintar akan memilih makanan mana yang paling baik, paling bermaslahah bagi kesehatan diri. Bukan asal halal, bukan asal enak, lalu disantap. Apalagi jika makanan yang tersaji tersebut buruk-buruk dan tidak ada yang baik, maka wong pinter akan memilih tidak mengkonsumsi.

Di meja makan inilah keimanan pemuda Ansor diuji, tergoda menyantap atau menahan diri. Semoga Tuhan memberi hidayah dan segera meluruskan langkah kawan-kawan Ansor sehingga benar-benar menjadi Ansorullah, pembela Allah dan bukan pembela musuh Allah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO