Pergeseran Tata Nilai dalam NU

Pergeseran Tata Nilai dalam NU Mahbub Djunaidi

Oleh: H. Mahbub Djunaidi

BANGSAONLINE.com sengaja memuat tulisan H Mahbub Djunaidi (ketua PBNU, pendiri PMII dan Ketua PWI Pusat) agar pembaca – terutama kalangan NU – bisa mereview sejarah NU terkait kultur NU. Apa benar pengurus NU tabu untuk dikritik? Selamat mengikuti.

Buku Pramudya Ananta Toer yang ditulisnya di Pulau Buru memang dilarang. Tapi ada kalimat di situ yang menarik perhatian saya. Bunyi kalimat Itu: bersikap adillah sejak dalam pikiran. Siapa bisa bantah kebenaran anjuran itu? Jelas saya, tidak.

Oleh sebab itu saya berusaha bersikap adil menilai kasus DR. KH. Idham Chalid. Sikap adil bukan saja mulai dalam pikiran, tapi juga ketika menuangkannya dalam tulisan ini. Sikap adil apa yang saya maksud? Begini. Dari sejak awal tahun 60-an saya mengidap sikap ganda terhadap diri DR. KH. Idham Chalid. Di satu pihak saya menyukainya, dan pada saat yang berbarengan saya menolaknya. Pergantian sikap yang satu ke sikap yang lain begitu seringnya sehingga sulit dihitung jari. Dan karena seringnya itu pula, maka segala sesuatu berjalan seperti tidak ada apa-apa. Bila laki-bini tiap menit bertengkar, para tetangga menganggapnya angin lalu. Tak seorang pun menyimak, kecuali meludah.

Apanya yang saya suka? Pertama karena dia kurus. Saya suka orang yang kurus. Kedua humornya tinggi. Saya suka humor, saya benci cemberut. Bukankah cuma binatang yang tidak suka tertawa? Ada memang saya dengar binatang kuda bisa tertawa, tapi saya kira itu bohong besar.

Dan apanya yang saya tolak? Sifat pelupanya yang tinggi. Ini memang manusiawi. Tapi jika kelewatan, masalahnya bisa jadi lain. Akibat sifat ini, sering dia bilang A pada saya dan bilang B pada lain orang. Padahal perkaranya itu-itu juga. Ini membuat saya tersandung-sandung. Padahal saya kurang suka tersandung-sandung itu. Kemudian saya juga kurang sepakat dengan kebiasaannya mengambang pada saat keputusan yang diperlukan. Bukankah tugas seorang pemimpin sebetulnya gampang saja: mengambil keputusan? Bilamana seorang pemimpin tidak suka mengambil keputusan tegas yang jadi pegangan (tak peduli keputusan itu benar atau meleset), maka segala sesuatu akan jalan mengambang. Seperti layang-layang putus talinya, dan akan jadi rebutan anak-anak.

Atas dasar itu saya sering melancarkan kritik terbuka, kadang kala keras. Akibatnya sering membawa akibat fatal buat diri saya, tapi saya tidak peduli. Misalnya kasus yang menimpa harian “Duta Masyarakat”. Sebagai pemimpin redaksi koran partai NU, saya tidak begitu saja tunduk kepada jalan pikirannya. Berulang kali saya ditegur, tapi saya nekad. Saya percaya sayalah yang benar karena jurnalistik memang bidang saya. Apa akibatnya? Akibatnya tentunya pada suatu saat turun suatu keputusan yang isinya cukup jelas: Harian “Duta Masyarakat” dipecat selaku organ resmi partai NU! Kendati akhirnya rujuk lagi, tapi yang jelas harian resmi partai NU itu pernah jadi anak gelandangan.

Apakah sikap penolakan terbuka saya ini diterima baik oleh alam seputar? Tentu saja tidak. Sikap saya seperti itu dianggap “bukan kultur NU”. Dianggap menyimpang dari tata nilai NU. Orang NU yang baik adalah orang NU yang menyimpan kritik di dalam saku belakangnya. Mengkritik pemimpin adalah bertentangan dengan keharusan hormat kepada orang tua. Bertentangan dengan akhlak “tawadhu”. Maka harga saya segera merosot menjadi harga seekor serigala yang mesti dijauhi. Mesti diceburkan ke comberan!

Orang yang paling rajin menasihati saya supaya merubah akhlak saya itu adalah KH. Saifuddin Zuhri. Merasa menjadi orang yang paling paham “kultur dan tata nilai NU”, dengan sendirinya saya senantiasa dapat dampratan, paling sedikit cegahan. Jangan begini dan jangan begitu. Bukan cara NU begitu. Mengkritik model begitu sudah berada di luar garis peradaban NU. Dan seterusnya.

Maka akibatnya sudah bisa dibayangkan: saya bingung bukan alang kepalang. Apakah saya mesti berdiam diri seperti sebatang lilin? Apa mesti saya telan saja apapun yang datang ke mulut tanpa periksa sedikitpun? Apa mesti saya iyakan apa yang mestinya saya tidakkan? Apa saya mesti meningkahi irama gendang yang ditabuh seorang pemimpin? Apa mesti saya tersenyum-senyum dan manggut-manggut meskipun saya tidak yakin kebenarannya? Apa kritik itu termasuk barang yang haram? Bagaimana mestinya yang bersikap “tawadhu” sedangkan saya berpendapat yang berbeda? Bagaimana mestinya saya mengatakan “Nol!” itu? Apa cuma boleh dalam mimpi?

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO