Tafsir An-Nahl 97: Menteri Olahraga yang "Tidak Islami"

Tafsir An-Nahl 97: Menteri Olahraga yang "Tidak Islami" Presiden Joko Widodo foto bersama atlet bulu tangkis Tontowi Ahmad (kiri) dan Lilyana Natsir (dua kiri) serta atlet angkat besi Sri Wahyuni (dua kanan) dan Eko Yuli Irawan (kanan) ketika bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Anak bangsa ini sudah banyak yang berprestasi di tingkat internasional, baik dalam bidang ilmu, sain, teknologi maupun prestasi keislaman. Yang menjadi juara Hafidh al-Qur'an 30 juz, tafsir al-Qur'an, Tilawah al-Qur'an dalam musabaqah internasional sangat banyak. Bahkan dalam waktu hampir bersamaan dengan Olimpiade Brazil kemarin juga ada. Tapi sama sekali tidak dihitung apa-apa dan dianggap tidak ada apa-apa.

Sadarlah, bahwa penduduk negeri ini mayoritas muslim, beragama islam. Ini sungguh fenomena mengenaskan bagi kaum muslimin di negeri ini. Nampak sekali bahwa kita hanyalah seorang beragama islam, tapi belum berkomitmen islami. Jika anak-anak ilmu, anak-anak teknolagi, anak-anak al-qur'an itu disoal sebagai bukan berkiprah di bidang olahraga?. Itu betul, tapi jangan lupa, mereka juga pemuda, mereka juga anak bangsa yang menjadi bagian dari amanat negara, amanat menteri pemuda dan olahraga atau menteri apa.

Dulu, penulis sangat gembira saat yang diamanati menjadi menteri pemuda dan olahraga dari kalangan santri pesantren, tokoh Ansor, nahdliyin nyel. Mugo iso mengangkat pemuda dan olahraga dengan warna keislaman dan pekerti islami. Eh, nyatanya malah nemen menyanjung duwur sundul langit juara dulinan lan tamplekan. Sementara juara kesantrian, juara keislaman, juara kealqur'anan sama sekali tidak dilirik babar blas.

Lebih menjijikkan lagi saat ganda campuran menang, pak menteri yang santri itu langsung menggunduli rambutnya di hadapan umum, seperti yang dilakukan oleh orang-orang politik saat menang. Padahal, biasanya yang gunduli rambut macam itu kebanyakan wong sing gak patek ngerti agomo. Ini fakta, bahwa pak menteri memang seorang muslim, tapi dalam mengemban amanat kementrian, ternyata belum berlaku islami. Ini fakta, bahwa pak menteri memang seorang santri, tapi dalam mengemban amanat kementrian tidak nyantreni.

Dalam diskusi kecil terkait arak-arakan menyambut sang juara yang dibesar-besarkan oleh menteri olahraga kemarin, seseorang berkomentar: "lho, medali emasnya kan cuma satu, kok euforianya berlebihan seperti juara umum".

Teman lain menimpali: "seharusnya menteri olah raga itu dipecat, seperti menteri lain yang dinilai gagal oleh Presiden. Ketahilah, bahwa medali emas yang disediakan dalam Olympiade Brazil 2016 kemarin berjumlah sekitar 300an, tapi Indonesia hanya dapat satu atau hanya mencapai 0.33 persen dari total prestasi emas tingkat dunia. Urutannya ke 46, kalah dengan negara-negara miskin Afrika, Kuba, Jamaika, malah Kenya urutan ke 15 dengan 6 medali emas, 6 perak dan satu perunggu. Prestasi apa? Pahlawan apa?.

"Tapi saya harus mengakui" sambung si teman.. "Pak menteri satu ini sungguh pinter mengelabui rakyat dengan menutupi kegagalannya. Owi dan Butet dielu-elukan sedemikian wah dan besar-besaran, sehingga rakyat terbius dan tidak berpikir komparatif yang membandingkan antara prestasi dengan kegagalan. Bayangkan, hanya 0,33 persen lho... Yang mengherankan lagi, kok yo pak presiden ikut hanyut dalam sihir pak menteri. Huebat tenan hizibnya.

Sebagai santri, penulis senang beliau tetap diamanati sebagai menteri dengan harapan ke depan bisa berlaku lebih islami, sehingga prestasi kaum santri juga dihargai. Itulah pesan ayat kaji kita sekarang ini, "falanuhyiyannahu hayah thayyibah", Servis duniawi yang bagus bagi mereka yang berprestasi, (97). Sejatinya negeri ini "tidak" begitu harum di Olimpiade Brazil kemarin, cuma kita saja yang terlalu mengharum-harumkan diri. Moga ke depan, dunia memandang harum kepada kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO