Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri

Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'i. Foto: NUO

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Rubrik ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.

Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 41-43. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.

MERINDUKAN TUHAN

AL-ANBIYA’: 48-50

TAFSIR

Ayat sebelumnya bertutur tentang penyeaalan orang-orang kafir yang durhaka dan sama sekali tidak mengindahkan seruan agama. Justru mereka malah membelakangi, menghina, dan memusuhi.

Andai saja mereka mau membuka hatinya barang sedikit, niscaya mereka akan menyesal, apalagi kelak setelah melihat sendiri siksa neraka yang bakal menimpa.

Kemudian, pada ayat kaji ini Tuhan mengangkat sosok Nabi Musa A.S. dan A.S. yang dianugerahi al-Furqan, dliya’ dan dzikr sebagai pengimbangan terhadap Rasulullah SAW yang dianugerahi kitab suci al-Qura’an. Semuanya, baik Nabi Musa, Harun, dan Rasulullah SAW diingkari oleh kaumnya sendiri.

“Waladaq ataina Musa wa Harun al-furqan WA dliya’ wa Dzikra..”. Abdullah ibn Abbas dan Ikrimah R.A. membaca tanpa huruf “waw” sebelum kata “dliya’”, jadinya: “Waladaq ataina Musa wa Harun al-furqan Dliya’a wa dzikra..”.

Jika qira’ah pakai “waw” seperti qira’ah al-jumhur, maka ada tiga perkara yang dianugerahkan kepada Musa dan Harun, yakni: al-Furqan, Dliya’ dan Dzikr. Al-Furqan di sini dimaknai sebagai kemenangan. Kemenangan Musa menumpas tirani Fir’aun yang sekaligus membuka kejelasan, membedakan mana ajaran yang benar dan mana yang salah.

Al-Furqan yang bermakna kemenangan ini identik dengan kata al-Furqan pada surah al-Anfal :41 yang bermaknakan kemenangan Rasulullah SAW pada perang Badar yang sangat fantastis dan tidak masuk akal. Tapi itu bisa terjadi benar-benar murni karena pertolongan Tuhan.

Mana mungkin sekitar 300 orang dengan persenjataan ala kadarnya bisa menghabisi tentara kafir sejumlah seribu dengan persenjataan sangat lengkap.

Kemenangan ini (al-nasr) disebut sebagai al-Furqan karena berefek memperjelas siapa pihak yang salah dan siapa yang benar.

Sedangkan Dliya’ bermakna cerah, sinar, cahaya terang, di mana agama yang dibawa oleh nabi Musa dalam kitab al-Taurah sungguh mencerahkan pandang hidup dan keimanan umat. Wajar, al-dliya’ di sini bermaknakan kitab suci al-Taurah.

Sedangkan “dzikr” maknanya pengingat, mengingatkan umat manusia agar tidak terjerembab dalam lembah kekufuruan dan kemusyrikan seperti yang paksakan oleh Fir’aun.

Fir’aun sendiri mengaku sebagai Tuhan kelas tertinggi. Tapi ternyata tidak mampu melawan ajalnya sendiri, mati mengenaskan, tenggelam di Laut Merah.

Jika qira’ah tanpa huruf “waw”, maka yang dianugerahkan kepada dan Harun hanya satu, yaitu al-Furqan saja. Sementara kata Dzikra dan Dliya’a berfungsi sebagai sifat dari al-Furqan. Artinya, A.S. dianugerahi kitab suci al-Taurah, kitab suci ini mempunyai dua fungsi.

Pertama, sebagai “dzikra”, peringatan, pangeling-eling. Mengingatkan manusia kepada Sang Khaliq, yaitu Allah SWT . Hanya Dia saja yang berhak menjadi Tuhan, lain tidak. Makanya, jangan mengkufuri dan jangan menyekutukan.

Kedua, sebagai “dliya’”, pencerah, penerang hati nurani, pemandu manusia ke pemikiran, keyakinan dan perbuatan yang benar. Dua fungsi al-Taurah ini – secara khusus – tertuju kepada yang congkak dan mengaku sebagai Tuhan kelas tertinggi.

Lalu A.S. dan saudaraya, A.S. diutus mendatangi Fir’aun dan disuruh bertutur kata yang lembut, agar dia menerima ajakan beriman. (bersambung)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO