Jangan Menangis Masjidku! | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Jangan Menangis Masjidku!

Editor: Redaksi
Senin, 22 Juni 2020 11:48 WIB

Ilustrasi

Ketika umat Islam beroyal-royal membangun masjid, tidak peduli menghabiskan berapa juta dinar, asal masjid di daerahnya megah, sementara di sekitar masih banyak pengemis dan orang kelaparan, al-imam al-Ghazaly berkomentar agak emosi: "Luqmah fi bathn ja-i' khair min bina' alf jami’". Sesuap makanan di perut orang yang kelaparan lebih berpahala ketimbang membangun seribu masjid.

Disempurnakan dengan perintah takbiran pada malam Idil Fitr, sebagai ungkapan memuji kebesaran Tuhan. Takbiran sunnah dikumandangkan di mana-mana, di rumah, di masjid, jalan raya, di pasar, mall, dll.

Disambung komunikasi ilahiah tingkat puncak, yaitu shalat id bersama di rumah Tuhan sendiri, masjid. Kecuali Covidian loyalis, maka pilih di rumah sendiri. Meski masjid sering dicurigai sebagai paling berpotensi penyebaran virus ketimbang mall, pasar dll, padahal masjid sudah sangat shalih mematuhi protokol kesehatan, maka kita tidak perlu meratapi nasib masjid. Serahkan semua urusan masjid kepada Pemilik-Nya, Allah SWT.

Ingat kisah raja Abraha dari negeri Yaman yang hendak menghancurkan bangunan baitullah, rumah Allah, ka'bah. Gajah besar-besar layaknya traktor sekarang siap meratakan Ka'bah dengan tanah dan tidak ada yang bisa menghalangi.

Penduduk Makkah tergopoh-gopoh memberi tahu kakek Abdul Muttalib tentang kedatangan pasukan gajah. Sang kakek benar-benar keluar dan menemui raja Abraha, tapi tidak membicarakan ka'bah yang hendak dimusnahkan, melainkan meminta kembali untanya yang dirampas tentara Abraha. Unta dikembali dan dibawa pulang.

Para pembesar Makkah ngelurug dan memaki-maki. Dicemooh sebagai egois, tidak perhatian kepada rumah Allah, mementingkan urusan pribadi dan lain-lain. Sang kakek hanya tersenyum dan berkata: unta itu milik saya dan saya sendiri yang ngurus. Sedangkan Ka'bah itu bukan milik saya, biarlah pemiliknya sendiri yang ngurus. Gitu saja kok repot.

Akhirnya, dengan cara-Nya sendiri Tuhan bertindak. Masjid kita juga rumah-Nya, meski tidak sebesar Baitullah di Makkah. Mudah-mudahan Tuhan tidak menyamakan para penutup masjid negeri ini dengan raja Abrahah. Tidak juga tersinggung karena rumah-rumah kecil-Nya ditutup dan tetap berkenan merahmati.

Setelah beraudisi dengan Sang Khaliq, ada anjuran "Shilah al-Rahim". Shilah, artinya sambung. Dari sambung itulah memancar power, seperti sambungnya arus listrik positif dan negatif yang menghasilkan cahaya, gambar, suara, energi dll.

Rahim, (Ra Ha Mim), maknanya cinta, kasih. Raahim, orang yang mencintai. Rahman, Rahiim, Allah maha kasih. Rahim, ibu yang mencintai. Rahim diterjemah dengan kandungan karena ibu-lah yang punya kandungan. Jadi, shilah al-rahim adalah kesinambungan yang produktif yang memancarkan kasih dan memberi. Jika sekadar salaman dan ketemu-ketemuan, itu formalitas, tapi sudah bagus.

Andai seseorang tidak bisa ketemu secara fisik karena ada larangan mudik, tapi uangnya dikirimkan ke keluarga, para fakir, miskin, anak yatim, dan mereka yang membutuhkan di desa, itu jauh lebih baik ketimbang mudik kosongan. Dan apapun yang terjadi, penulis ucapkan: "mohon maaf, taqabbal Allah minna wa minkum".

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video