Tafsir Al-Isra 81: Menghancurkan Patung, Bolehkah? | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Isra 81: Menghancurkan Patung, Bolehkah?

Editor: Redaksi
Sabtu, 08 Februari 2020 12:02 WIB

Ilustrasi

Di samping itu, misi jihad adalah mengubah kebatilan menjadi kebenaran. Maka, semua yang menjadi elemen kebatilan mesti dihancurkan agar mereka tidak mengenang dan kembali ke kemusyrikan lagi. Menyerahnya para kafir Makkah saat fath Makkah (penaklukan) tersebut menunjukkan bahwa mereka sudah siap beriman dan nyatanya begitu. Hal demikian terbukti dari seru pemimpin mereka sendiri, yakni Abu Sufyan. Maka patung sesembahan tidak dibutuhkan lagi, lalu dihancurkan.

Tidak sama ketika situasi damai dan hidup berdampingan bersama nonmuslim, seperti ketika Rasulullah SAW menerima kaum dzimmy, musta'man, dan mu'ahad. Mereka dikenakan pajak (jizyah), maka mereka dipersilakan beribadah menurut keyakinan mereka masing-masing. Yang menyembah patung dibiarkan asal dilakukan secara tertutup dan tidak terang-terang sehingga memprovokasi kaum muslimin.

Untuk itu, di negeri ini, patung-patung yang disembah oleh pemeluk agama lain, seperti di Borobudur atau di tempat lain adalah terselenggara dalam keadaan damai dan hidup berdampingan. Kita tidak diperbolehkan menghancurkan, tetapi tidak boleh juga kita melestarikan.

Orang Islam tidak boleh mendukung perbuatan dosa, apalagi mendukung dana. Melestarikan patung sesembahan sama dengan rela terhadap kemusyrikan. Urusan menjaga dan melestarikan itu urusan mereka sendiri, seperti kita mengurusi rumah ibadah kita sendiri.

Negeri ini bukan monopoli milik orang Islam saja (Dar al-Islam), melainkan negeri damai (Dar al-Salam), milik bersama. Karena mayoritas penduduknya beragama Islam, maka damai-damai saja. Sungguh sumbangan terbesar umat Islam pada kemanusiaan. Hanya saja yang menikmati sumbangan ini sering kurang mengerti.

Tetapi, tidak semua patung itu boleh dihancurkan. Jika patung itu bisa dimafaatkan untuk kemaslahatan umat, maka harus dimanfaatkan dengan catatan tidak ada efek madlarat di sisi lain.

Semisal patung sesembahan yang terbuat dari logam mulia, emas, perak, platina, dan lain-lain, maka harus dilebur lebih dulu sehingga tidak lagi berwujud sebagai patung. Setelah menjadi emas batangan -misalnya-, baru dijual. Hasilnya dipakai untuk kemaslahatan manusia, diberikan kepada fakir dan miskin atau kebaikan keagamaan. Peleburan itu mutlak dan wajib dilakukan. Jika tidak, maka tidak boleh. Sebab masih memberikan servis sesembahan di tempat lain.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video