Tanya-Jawab Islam: Mengapa Nilai Zakat Fitrah Berbeda Tiap Tahunnya? | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tanya-Jawab Islam: Mengapa Nilai Zakat Fitrah Berbeda Tiap Tahunnya?

Selasa, 05 Juli 2016 22:12 WIB

Dr. KH Imam Ghazali Said

Zakat fitrah adalah kewajiban setiap individu mulim yang hidup antara akhir Ramadan dan awal Syawal untuk mengeluarkan atau membayar sekitar 2,5 Kg (1 sha’) makanan pokok di suatu daerah kepada salah satu dari delapan golongan manusia yang berhak menerima zakat itu. Mengingat individu muslim selama satu bulan penuh melaksanakan puasa Ramadan, itu berarti jiwa mereka sudah tersucikan dengan puasa. Sedang harta mereka tidak tersucikan, jika mereka belum membayar zakat fitrah.

Zakat fitrah memang spesifik karena bayi yang lahir di akhir Ramadan dan terus hidup pada awal Syawal orang tuanya punya kewajiban untuk mambayar zakat fitrahnya. Secara bahasa dan istilah bisa diambil pengeritan bahwa zakat fitrah bagi yang menunaikan ibadah puasa adalah pembersih diri secara total baik jasmani maupun rohani. Sehingga kita sebagai muslim ketika 1 Syawal (Idul Fitri) dapat menyatakan diri sebagai orang yang kembali menjadi suci, yang biasa kita ungkapkan dengan istilah Idul Fitri atau minal ‘aidin wal faizin (termauk orang yang kembali pada kesuian dan mendapatkan kemenangan). Kembali suci karena berpuasa dan membayar zakat fitrah dan menang karena mampu menyelesaikan puasa dengan mengekang hawa nasu dengan segala bentuk secara sempurna.

Sebetulnya zakat fitrah itu tidak berubah-ubah dalam arti timbangannya. Karena timbangan tersebut sudah ditentukan oleh syariat yaitu sekitar 2,5 kilogram (1 sha’) makanan pokok di tempat seorang muslim tinggal. Penentuan timbangan ini tidak berubah dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Yang berubah itu nilainya, jika diukur dengan uang sebagai alat tukar.

Andaikan Rasul SAW, waktu awal Islam pada abad ke-7 Masehi menentukan zakat dengan nilai mata uang tertentu, misalnya dinar, dirham dan lain-lain niscaya saat ini kaum Muslim akan kesulitan untuk mengkonversikan dengan nilai mata uang sekarang.

Tetapi Rasul menentukan dengan ukuran kepentingan-kepentingan konsumtif lain yang sangat mereka butuhkan. Karena keutuhan mendesak pada hari raya tidak hanya terbatas pada makanan pokok berupa beras saja. Tetapi beras itu harus dimasak perlu lakuk-pauk sehingga makanan pokok itu layak konsumsi. Semoga penjelasan saya ini bisa dipahami. Wallahu a’lam.

 

 Tag:   tanya jawab

Berita Terkait

Bangsaonline Video