Tafsir Al-Hijr 41: 100 Hari Kerja Iblis | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Hijr 41: 100 Hari Kerja Iblis

Editor: Revol
Selasa, 31 Maret 2015 01:20 WIB

Ilustrasi

100 hari kerja memang bukan undang-undang, tapi ada dalam tradisi negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Hal itu untuk melihat sepintas, sejauh mana capaian kinerjanya, sekaligus sebagai sampling untuk mengukur kerja pemerintah selanjutnya. Ada kepala negara yang acuh dan berani mengambil teskis 100 hari kerja ini, ada yang tak acuh dan ada pula yang acuh-tak acuh, tergantung kepribadian masing-masing.

Seperti dinyatakan oleh juru bicara kepresidenan sendiri, bahwa Jokowi tidak mengenal 100 hari kerja. Maksudnya?, Terserah pembaca mau berkomentar apa. Apa karena Jokowi kerdil dan tahu diri, sehingga tidak mau terseret dalam gaya presiden negara maju?, atau sebenarnya dia diam-diam sudah sangat serius melakukan itu, tapi nyatanya malah korat-karit?. Bahkan kadernya sendiri memberi nilai merah yang berpotensi pemakzulan. Atau karena Jokowi pribadi sangat tawadhu', rendah hati, sehinga tidak mau menonjol-nonjolkan diri pada hari-hari awal bertugas?. Mudah-mudahan yang terakhir ini adanya, meski Penulis tidak yakin.

Terhadap keunggulan islam (aliy, mustaqim), ambil contoh paling radikal, hukuman mati atau qishash. Dari sisi keadilan, tidak satupun ada yang membantah, nyawa dibalas dengan nyawa. Suka atau tidak suka, itulah hakekat keadilan. Soal keluhuran, Islam menganjurkan ada maaf dari pihak korban, bahkan bebas dari segala tuntutan, baik tuntutan nyawa maupun denda. Kurang luhur apa? Kecuali jika tawaran baik ini ditolak oleh pihak korban, maka keadilan baru ditegakkan. Tidak menghukum mati atas pembunuh jahat justru itu sikap pilih kasih yang tak terpuji dan dipaksakan.

Soal qishash, Hak Asasi Manusia (HAM) hanya pertimbangan manusiawi belaka, meski sepihak, sementara syari'ah islam menggunakan pertimbangan ukhrawy lebih dominan, setelah keadilan duniawi. Bagi Islam, orang yang berbuat dosa besar seperti membunuh tidak dibiarkan tanpa bimbingan religious, melainkan diberi arahan menuju kebajikan akhir dan husnul khatimah. Dengan di-qishash atau dirajam, kematian husnul khatimah dijamin nyata dan surga sudah di tangan. Tidak sama dengan hukuman penjara seumur hidup, selain butuh biaya sangat banyak, juga kesulitan membimbing dan mencerahkan.

Orang yang dihukum mati karena qishash atau dirajam, setidaknya bisa mempersiapkan diri dengan pertobatan dan amalan-amalan yang dianjurkan agama, seperti shalat dan beristighfar, termasuk meminta maaf kepada semua pihak. Ketika Ma'iz ibn Malik usai dirajam, nabi mengomentari, bahwa Ma'iz kini sedang berenang-ria di surga. Sekali lagi, pertimbangan ukhrawy inilah yang tidak dijangkau oleh konsep HAM dan pihak kontra qishash atau hukuman mati.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video