​Anti Korupsi atau Antri Korupsi? Refleksi 22 Tahun Reformasi

​Anti Korupsi atau Antri Korupsi? Refleksi 22 Tahun Reformasi Penulis di Gedung KPK. foto: ist.

Keesokan harinya, tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto mundur dan era dimulai. Agenda-agenda gerakan pun mulai dijalankan satu per satu, diawali dengan ABRI, bukan hanya Dwifungsi ABRI yang dihentikan, bahkan organisasi ABRI-pun dibubarkan, dipecah menjadi TNI dan POLRI. Saya jadi teringat skripsi saya harus mundur lama sekali karena judulnya membuat dosen penguji ketakutan. Judul skripsi saya waktu itu adalah Reposisi dan Reorganisasi ABRI dalam perspektif yuridis. Judul diajukan sebelum ABRI bubar namun diuji setelah ABRI bubar.

Agenda berikutnya adalah penerapan Otonomi Daerah seluas-luasnya melalui UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, disusul dengan amandemen UUD 1945 terutama pasal 7, di mana periode kekuasaan Presiden diubah dari tak terbatas menjadi terbatas. Amandemen pertama terhadap UUD 1945 tersebut dilakukan dalam Sidang Umum MPR RI bulan Oktober 1999.

KKN SEMAKIN PARAH

Alhamdulillah sebagian agenda gerakan telah terlaksana, walaupun kita harus kecewa karena sebagian yang lain tidak pernah terlaksana. Bahkan bukan hanya tidak terlaksana, namun justeru semakin parah.

Agenda yang belum terlaksana tersebut antara lain pengadilan terhadap kroni-kroni , supremasi hukum dan tata kelola pemerintahan yang bersih dari KKN.

Kroni-kroni bergerak cepat menyusup ke dalam elemen-elemen pro sehingga mereka lolos dari proses hokum. Mereka berganti baju menjadi elit politik era , bahkan menjadi bagian dari parpol-parpol produk . Supremasi hukum masih menjadi mimpi indah di bumi NKRI hingga saat ini dan KKN justeru semakin berjaya dan menggurita di era .

Satu per satu pejuang 98 menjadi elit politik baru, pengganti para elit politik Orde Baru. Ada yang menjadi anggota parlemen, menteri, kepala daerah dan lain-lain. Namun publik melihat bahwa hanya pos jabatannya yang ganti kepala, namun kelakuan jauh lebih parah daripada para pejabat Orde Baru, baik yang tidak tersentuh hukum maupun yang sudah terciduk oleh hukum.

Sampai di sini publik bertanya-tanya, lha kalian dulu itu (tahun 1998) anti korupsi apa antri korupsi?

GARDA REFORMASI?

Jawaban terhadap pertanyaan tersebut di atas tentu saja beraneka ragam. Ada elit politik yang menjawab, "Kami dulu betul-betul anti korupsi, namun setelah menduduki jabatan publik kok ternyata korupsi itu enak". Ada juga elit politik yang menjawab, "Kami sejak dulu sebetulnya memang antri korupsi dengan cara pura-pura anti korupsi", dan ada juga yang menjawab, "Kalian jangan ngawur, saya tetap lurus dan jujur sebagaimana idealisme saya tahun 1998 lalu".

Sebetulnya semua ini terjadi karena begitu mundur dari jabatan Presiden RI, para pejuang langsung bubar barisan, tidak membentuk sebuah garda pengawal agenda . Andai kita belajar dari Republik Islam Iran, begitu Revolusi Islam berhasil menggulingkan pemerintahan boneka Amerika Serikat pada tahun 1978, para tokoh revolusi langsung membentuk Garda Revolusi untuk memastikan semua agenda Revolusi terlaksana dengan baik dan tuntas.

Gerakan Reformasi Indonesia tahun 1998 tidak melahirkan garda pengawal sehingga hingga detik ini masih tersisa agenda besar yang belum terlaksana. Sementara pembentukan Garda Reformasi saat ini sudah tidak relevan. Momentumnya sudah lewat. Satu-satunya jalan untuk menuntaskan agenda 1998 adalah Aksi Reformasi Jilid II dengan tuntutan :

1. Revitalisasi KPK;

2. Peningkatan kapasitas Komisi ASN dan Kompolnas dalam rangka pemberantasan KKN di dalam tubuh aparatur sipil khusus (kepolisian) dan aparatur sipil negara (ASN);

3. Resentralisasi urusan kepegawaian Nasional;

4. Pembentukan Komisi Militer Nasional dalam rangka pemberantasan KKN di tubuh militer.

Bahkan kalau perlu otonomi daerah dievaluasi karena ada indikasi bahwa otonomi daerah saat ini identik dengan otonomi KKN.

Penulis adalah salah satu pimpinan kesatuan aksi 1998

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO