Tanggapan terhadap Dialog Menkes dan Calon Dokter: Salah Kaprah tentang Dokter

Tanggapan terhadap Dialog Menkes dan Calon Dokter: Salah Kaprah tentang Dokter Dahlan Iskan

Ada ilustrasi kejadian nyata yang dialami oleh seorang teman. Juga dialami banyak (ditulis dalam kata ”saya”):

"Saya pernah di daerah terpencil di Kalimantan selama 6 tahun. Mulai menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT), kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil. Setelah lulus spesialis saya kembali ke Kalimantan selama 2 tahun, menjadi . Satu-satunya di 5 kabupaten sekitarnya. Insentif dari Pemda baru saya terima di bulan ke 7. Sebesar 10 juta (bulan 1-6 tidak ada). Plus gaji tetap sebagai PNS sekitar 3 jutaan sebagai golongan 3B saat itu.

Bagaimana dengan layanan di rumah sakit? Pasien hampir tidak ada di poli. Per hari rata-rata sekitar 3-5 pasien yang datang. Jumlah operasi sangat minim. Jika beruntung bisa 1 pasien dalm 2 minggu. Belum lagi pasien yang harus dirujuk karena kuota pembiayaan BPJS yang tidak memenuhi.”

Melihat fenomena di atas jika fokusnya hanya hitungan ketersediaan dokter –seperti hitungan pembagian matematika– maka dapat dipastikan problematikanya pasti akan berulang terus. Ketersediaan tidak otomatis akan diserbu masyarakat. Tidak semua rumah sakit siap dengan SDM, alat, dan juga sistem penunjangnya.

Tidak semua pemerintah daerah mampu dan mau memberikan insentif yang layak agar betah dan rela bertugas di daerah.

Proses pembenahan dan penambahan produksi ini harus didasari data kebutuhan yang akurat. Based on demand, secara spesifik antar daerah yang mungkin tidak sama.

Produksi, distribusi (pemerataan), dan pemenuhan kesejahteraan menjadi urgensi yang harus segera dilakukan. Ketiganya harus berjalan beriringan. Tidak bisa satu meninggalkan yang lain. Dokter tidak bisa dibuat produksi masal. Risikonya sangat besar. Suatu saat akan terjadi over kuota. Kompetisi antar dokter hanya akan merugikan pasien dan masyarakat. Dan ketahanan kesehatan bangsa pasti akan rapuh. Karena dokter berhubungan dengan manusia.

Melakukan perubahan besar ibarat seperti mengubah haluan kapal besar yang sedang melaju. Ketergesaan dan tanpa perhitungan matang, terlebih pemaksaan ego kendali regulator yang berlebihan, hanya akan membuat kapal terbalik dan hancur.

Tentang Bullying

Infonya Pak Menkes juga menerima curhatan tentang terjadinya bullying di pendidikan . Tidak bisa dimungkiri bahwa bullying itu ada. Tapi dapat dipastikan tidak ada satu pun institusi pendidikan melegalkannya. Hukuman bagi pelaku bullying sangat berat bahkan bisa dikeluarkan. Perlindungan terhadap perlakuan bullying adalah hak dari setiap warga negara dan kewajiban pemerintah memberikan perlindungan.

Bullying dalam dunia pendidikan adalah ulah oknum dan tidak bisa digeneralisasi.

Yang tidak pernah mengenyam pendidikan dokter apalagi pendidikan akan sulit memahami dinamikanya. Kadang ada yang mengatakan bahwa pendidikan dokter ini mirip pendidikan tentara. Ada hierarki dengan jenjang komando yang jelas. Pelaporan dan perencanaan satu diagnosis dan tindakan harus dilakukan dengan pelapisan berjenjang yang sangat ketat.

Satu kesalahan akan dapat dianggap sebagai morbiditas. Ada morbiditas ringan, sedang, dan berat. Beda-beda hukumannya. Karena proses pendidikan kedokteran yang diterapkan di mana pun adalah ”zero tolerance”. Meminimalkan tingkat kesalahan sampai pada angka yang sekecil-kecilnya. Bahkan ada istilah satu hal yang baik dalam pelayanan kepada pasien adalah standar bagi proses pendidikan dokter. Dan ”kesalahan” akan dianggap sebagai morbiditas. Dan ini berlaku di proses pendidikan di seluruh dunia untuk meminimalkan terjadinya ”kesalahan” pada proses penanganan pasien bagi para calon .

Tentang jumlah yang kurang. Aspek produksi memang selalu ”hot” untuk diangkat. Wilayah Indonesia yang sangat luas dengan ribuan suku, adat istiadat dan kemampuan sosial ekonomi menjadikannya bukan hal yang mudah memenuhi semua kebutuhan kesehatan khususnya kebutuhan . Cuma sayangnya kondisi ini kadang lebih sering menjadi dalih.

Terbukti dengan semakin menjamurnya bisnis perumahsakitan maka banyak lulusan bekerja di rumah sakit – rumah sakit swasta yang juga membutuhkannya. Melihat kondisi saat ini, basis existing institusi pendidikan dokter di Indonesia berjumlah sekitar 92 FK baik PTN maupun PTS yang tersebar di seluruh Indonesia. Masing-masing diberikan kewajiban mendirikan RS Pendidikan sebagai syarat wajib bisa dibukanya fakultas kedokteran. Ini jumlah yang cukup besar, sudah berjalan, tenaga pengajarnya ada, kualifikasinya jelas dan muridnya pun ada.

Penambahan produksi kenapa tidak dimulai dari institusi pendidikan dokter yang sekarang sudah ada saja?

Yang pasti PR-nya tidak banyak. Tinggal dikalkulasi apa yang kurang, dilakukan pendampingan, supervisi dan monev. Yang dananya kurang dapat disubsidi pemerintah. Calon yang tidak mampu dapat mengajukan beasiswa atau pinjaman lunak yang ringan kepada bank-bank pemerintah.

Prioritas penerimaan pada dokter-dokter kiriman daerah (Pemda) dengan status dan ikatan kembali ke daerah asal. Dan ini tidak sulit karena mereka tidak harus ke Jawa. Pendidikan spesialis dapat langsung mereka ambil di institusi pendidikan kedokteran yang paling dekat dengan tempat mereka bekerja. Beasiswa Pemda yang dibayarkan ke institusi pendidikan spesialis akan menghidupi institusi tersebut pun demikian dengan RS pendidikannya.

Terlebih sudah ada SKB 2 Menteri yakni Menteri Pendidikan dan Menteri Kesehatan dengan sistem Academic Health System yang akan meningkatkan kapasitas belajar dan lulusan mencapai 3 kali lipat dari yang sekarang ada. Tinggal dihitung saja berapa kebutuhannya based on demand dari masing-masing daerah yang pasti berbeda. Plus dihitung juga aspek pemerataan dan kesejahteraannya. Dan terkait aspek pemerataan atau distribusi SKB 2 Menteri ini bisa dilebarkan menjadi SKB 3 Menteri yang melibatkan Menteri Dalam Negeri.

Banyak hal yang dapat segera kita selesaikan sebenarnya tentang problematika kesehatan bangsa ini. Kuncinya hanya satu : BERSAMA-SAMA!

Menteri, anggota DPR, pimpinan, ketua ini dan itu semua adalah jabatan sementara. Perlakuan perubahan sangat elok jika mengajak pihak yang akan diubah. Tampilkan sebagai SUBJEK. Bukan OBJEK. Karena siapa pun bisa selesai begitu masa jabatannya habis. Tapi yang berprofesi dokter ya tetap menjadi dokter seumur hidupnya. Demikian juga tenaga kesehatan yang lain. Rakyat pun demikian selamanya akan tetap menjadi rakyat dan membutuhkan layanan kesehatan yang baik. (*)

*) Dokter Spesialis Ortopedi dan Traumatologi Unair, Konsultan Hip and Knee

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO