Tak Bisa "Menjual" Muhammadiyah

Tak Bisa "Menjual" Muhammadiyah Dahlan Iskan

Mereka itu dikirimi surat. Harus menyatakan bersedia atau tidak. Harus mengisi daftar riwayat hidup. Termasuk hidupnya di . Pernah jadi pengurus apa saja.

Jumlah 90-an inilah yang kemudian dibawa ke sidang Tanwir pengurus pusat . Sidang Tanwir adalah sidang yang tingkatnya di bawah Muktamar. Sidang Tanwir ini berlangsung Jumat lalu, dua hari sebelum Muktamar.

Majelis Tanwir inilah mengerucutkan 90 nama itu menjadi 39 calon. Caranya sangat demokratis. Masing-masing anggota majelis memilih nama. Terpilihlah 39 nama dengan suara terbanyak.

Dengan demikian, sejak sidang majelis Tanwir itu, aktivis sudah tahu siapa saja 39 nama calon pimpinan pusat mendatang.

Nama 39 orang itulah yang kemarin dibawa ke Muktamar . Peserta Muktamar tidak memilih ketua umum, tapi memilih 13 nama yang akan menjadi pengurus pusat . Terserah pada 13 orang itu: siapa yang salah satunya akan menjadi ketua umum. Yang 12 orang mendampingi sebagai pengurus pusat lainnya.

Kenapa 13 nama? Bukan 17 atau 9 atau 5 atau 45?

Saya pernah membaca keterangan Prof Dr Din Syamsuddin, orang Sumbawa yang pernah jadi ketua umum pengurus pusat . Katanya: tidak ada alasan khusus. Menetapkan jumlah itu bisa menimbulkan perdebatan panjang. Apalagi kalau harus dikait-kaitkan dengan kekeramatan sebuah angka. Justru misi harus melakukan dekramatisasi angka. Maka dipilihlah angka 13. Sekalian jadi lambang dekramatisasi angka 13 yang dianggap sebagai angka sial.

Dan ternyata tidak pernah sial. Sudah sekian kali muktamar dengan angka itu tetap saja lancar jaya.

Kenyataannya 13 orang itu sebenarnya kurang. Pengurus pusat perlu lebih dari 20 orang. Ya ditambah saja. Yang 13 orang itu diberi wewenang untuk menambahnya.

Di Pemilu kemarin malam itu lancarnya bertambah-tambah: pakai komputer. Ini untuk kali pertama pemilihannya pakai e-voting. Memang belum sepenuhnya elektronik. Belum pakai HP masing-masing. Peserta Muktamar masih harus maju ke suatu bilik suara. Di dalam bilik itu ada komputer. Peserta tinggal klik untuk pilih siapa. Beberapa bilik disediakan di bagian depan ruang muktamar. Cepat sekali. Langsung tertabulasi. Terpilihlah 13 nama.

Acara berikutnya: 13 nama itu bersidang. Singkat sekali. Penyebabnya: salah satu dari 13 nama tersebut adalah ketua umum incumbent: Prof Dr Haedar Nashir. Maka aklamasi terjadi. Beliau terpilih kembali. Selesai.

Dengan sistem pemilu seperti itu, bisa menghindari banyak virus yang merusak organisasi. Termasuk tidak mungkin terjadi, misalnya, seseorang tokoh tiba-tiba jadi pimpinan, hanya bermodalkan popularitas atau kekuasaan.

Pernah terjadi seorang tokoh dicoret dari daftar calon. Padahal ia seorang menteri. Ia harus menerima itu. "Padahal saya ini kurang apa?" keluh tokoh tersebut. Ternyata ia belum pernah menjadi ketua wilayah . Atau ketua majelis otonom di kepengurusan pusat. Ia adalah: Menteri Agama Tarmizi Taher.

Tentu iklim di sendiri yang juga memungkinkan sistem tersebut bisa dilaksanakan. Tertib administrasi dan tertib organisasi di terkenal disiplinnya. Pun dalam hal keuangan. Tidak ada keuntungan finansial apa pun untuk menjabat ketua umum . Juga tidak mendapat fasilitas. Termasuk tidak bisa ''menjual'' dalam pemilu atau pilpres. Maka lebih sebagai kumpulan para pengabdi. Tidak terpilih pun apa susahnya. Mengabdi bisa di mana saja.

Akhirnya siapa yang jadi pimpinan sudah terseleksi secara ketat. Berjenjang. Transparan.

Hampir tidak mungkin terjadi kasus ''salah pilih''. (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan meilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO