​Sumamburat: Obat Mujarab Orgil Itu "Bermerek Pilpres"?

​Sumamburat: Obat Mujarab Orgil Itu "Bermerek Pilpres"? Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

ORANG gila bakal mencoblos dalam pileg dan pilpres 17 April 2019. Begitulah yang ramai terwartakan dari ragam pernyataan yang terberitakan di media. Antarkomisioner KPU sendiri saling memberikan ungkapan dengan diksi yang berbeda tetapi maknanya sama bahwa orgil mempunyai hak untuk memilih. Argumentasi yang diunduh oleh khalayak sangat terang dengan dalil-dalil yang didalihkan atas nama HAM. Pada akhirnya semua harus mafhum bahwa negara pasti mendata penduduknya dalam kerangka kebijakan demografi dan KPU mencatat para pemilih.

Gila dianggap sebagai sakit yang pastinya berpotensi tersembuhkan, sehingga pendataan pemilih termasuk orgil amatlah wajar secara administrasi penyelenggaraan demokrasi. Pemilu merupakan mekanisme pemilihan pemimpin yang boleh saja dilanjutkan atau cukup sampai di sini, itu sah adanya. Orgil jelas mempunyai kesempatan yang sama sebagai warga negara sedasar prinsip-prinsip demokrasi selaksa pemeo equality before the law.

Pahamilah bahwa persamaan di hadapan hukum itu terealisasi dengan syarat memiliki kesamaan kondisi, kesamaan status, kesamaan posisi, atau kesamaan keadaan. Apabila kahanane berbeda maka akan terjadi ketidaksamaan di hadapan hukum. Itu normal dan tidak perlu diributkan sambil berviral-viral. Setiap WNI dewasa mempunyai hak pilih tetapi tidak semua boleh menggunakannya karena adanya “kesepakatan nasional” yang dibungkus hukum seperti anggota TNI-Polri. Meski mereka sehat dan memiliki daya nalar yang berkecakapan sempurna tetapi tidak boleh memanfaatkan hak pilihnya sebab dilarang oleh hukum sebagai manifes “penjagaan negara”. PNS-ASN pun membentur perlakuan khusus dalam mengikuti tahapan pilpres, yaitu harus netral, sehingga PNS-ASN tidak boleh sembarangan dalam menyikapi pilpres. Keberpihakan dengan sinyal-sinyal tertentu harus dilarang dan apabila dilanggar akan ada tindakan mendisiplinkan.

Kiranya tetap ada yang nggrundel bahwa aturan itu terpotret “sesuka-suka yang buat aturan” seperti ungkapan penegakan hukum yang memproses tokoh pemuda sambil menyatakan sebagaimana ramai di media: “suka-suka kami yang memeriksa”. Padahal di negara hukum ini tidak boleh ada rakyat, birokrat maupun aparatur negara yang bertindak sesuka-suka dirinya, melainkan wajib “sesuka-suka hukum” yang berlaku. Fenomena “petugas hukum” yang bertindak sesuka-suka dirinya membuat sebagaian pembaca mafhum bahwa orgil diberi hak (mewujudkan) pilihannya adalah “sesuka-suka peracik obatnya”. Racikan aturan yang menuangkan norma bahwa orgil yang sehat akan ikut nyoblos perlu dikaji ulang. Ukuran orgil memilih kok dilihat soal sehat? Memilih itu sejatinya dalam ranah hukum nasional bukan soal sehat-tidak sehat, sebab orang yang sedang sakit di rumah sakit-rumah sakit ternyata tetap boleh mencoblos. KPU kerap menyediakan TPS keliling agar hak politik orang sakit tetap tersalurkan sesuai dengan pesan demokrasi.

Jadi memilih itu bukan soal sakit atau sehat melainkan mengenai “kemampuan jasmani dan rohani”. Anak kecil (belum dewasa) yang sehat, tetap belum boleh malakukan aktivitas hukum, semantara itu orang dewasa pun ada yang tidak boleh melakukan perbuatan hukum karena dia ada dalam pengampuan, termasuk orang gila tidak memiliki kapasitas hukum. Sampai di sini tampaknya pilpres sudah digulirkan dengan tendangan hukum yang membenarkan bahwa orgil, atau yang sedikit orgil karena ada tanda-tanda bisa membedakan orang, dia akan sembuh dengan sendirinya kalau “sudah diberi kapsul yang bermerek pilpres”. Inilah yang saya mengerti bahwa ternyata obat mujarab bagi orgil. Sekali minum langsung sembuh. Berarti nanti saat pilpres diprediksi orgil-orgil itu membentuk kerumunan menyusun formasi kehadiran di TPS-TPS demi menyalurkan hasrat kuasanya. Waraslah.

Konstalasi orgil yang minum “obat merek pilpres” itu tetap berbeda dengan orgil yang membunuh kiai, ulama, ustadz. Tindakan mereka tetap tindakan orgil, bukan tindakan orang waras akalnya, meski dia selektif dalam memilih korban, yaitu ulama, bukan kuli bangunan. Ingatlah selalu bagaimana pembunuhan ulama di Jawa Barat tahun 2018 ini oleh orang gila yang juga pernah menimpa keluarga kiai di Jombang di era 1990-an serta menyeruak di kasus “kolor ijo” maupun “Ninja Banyuwangi” tahun 1998. Panggungnya nyaris serupa dalam genderang politik nasional yang menghangat.

Tentang orang-orang gila yang pandai memilih momentum untuk membangun visi politik itu menjadikan saya membaca lagi Kitab Kebijaksanaan Orang-orang Gila (‘Uqala’ al-Majanin) yang ditulis Abu Al-Qasim An-Naisaburi yang terbit pertama kali 1987. Buku ini memuat 500 kisah muslim genius yang dianggap gila dalam sejarah Islam, ditulis 1000 tahun lalu. Terdapat mutiara hikmah yang banyak dari pustaka ini: Wahai Sa’dun, mengapa engkau tidak bergaul dengan masyarakat? Sa’dun bersyair: Menjauhlah dari orang-orang supaya mereka menyangkamu takut. Tak perlu kau menginginkan saudara, teman dan sahabat. Pandanglah manusia dari manapun kau suka. Maka yang akan kau lihat hanyalah kalajengking.

Kalajengking itu, adakah berupa orgil atau “investor asing yang diperkenankan mengusaai 100% usaha ngupas ubi-ubian? Memang saatnya merenungi kembali dalam hening maupun ramai, Serat Kalatidha Ranggowarsito: Zaman Edan: Amenangi zaman edan; melu edan ora tahan; yen tan melu angklakoni boya keduman, bejo-bejone kang edan, luwih bejo kang eling lan waspodo. Jadi ingatlah pitutur luhur Eyang Raden Ngabehi Rangga Warsita (1802-1873) alias Bagus Burhan ini di saat pemilu nanti tentang hadirnya “barisan orgil di TPS-TPS”. Mereka langsung tersembuhkan. Mujarab bukan?

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO