​Sumamburat: Kabar Duka dari Udara

​Sumamburat: Kabar Duka dari Udara Dr H Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

SAAT ini banyak warga dunia menolehkan pandangan dalam degub tragedi dunia penerbangan Indonesia. Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610, rute Jakarta-Pangkal Pinang, Senin pagi, 29 Oktober 2018 dinyatakan jatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat. 189 insan yang menumpang turut dalam duka yang menyibak langit Republik yang tengah sibuk politik pileg nan pilpres 2019. Mendung yang sedianya dikira hujan hendak turun untuk memungkasi musim kemarau, berubah menjadi lembaran kelam tangis yang menyayat jiwa-raga seluruh anak bangsa yang memiliki ruhani kemanusiaan. Lelehan air mata itu mengalir laksana gulungan ombak yang menerjang dengan lara yang semakin kentara. Anggota keluarga hadir dengan terawang sinar mata yang tampak penuh lelah, sinarnya memunculkan binar sesaknya dada yang mewakili remuk-redam batinnya. Sinar yang meredub dengan kepasrahan yang harus mampu dibaca negara. Pada sisi inilah doa adalah jalan terbaik untuk dilantunkan bagi kemuliaan seluruh para korban dan penguasa membulatkan tekad untuk meringankan beban mereka.

Ya … Langit itu memang mencakrawalakan beragam kemungkinan. Karunia dapat hadir dari segenap penjuru langit dan bumi sebagaimana tertuang dalam sederetan firman Tuhan. Dari langit dengan udara yang menyemilirkan diri bersama gerak angin telah memberikan kehidupan melalui gumpal indah oksigennya. Gelombang udara sejatinya jalan lapang semua frekuensi dan suara jalinan komunikasi terfasilatsi oleh Allah SWT melalui sarana udara. Udara yang berarak meski terkadang singgah mendekap kerumun awan yang meski tidak hitam, bukan berarti tidak ada tanda-tanda. Tentu bervariasi tanda-tanda yang menyajikan banyak hal untuk dipikirkan oleh manusia melalui akal sehatnya. Lantas ada kabar tentang kehidupan, pun terderet pula jejak kematian yang terdaftar pada naungan indah sidratil muntaha. Arasy Tuhan ber untuk menjadi ayat yang harus ditafakuri melalui pikiran agar terasah adanya pengendali dalam hidup ini yang mengatur setiap deret “pori-pori” udara atupun “puting beliung” yang acapkali mampu memperorak porandakan “kreasi insani” yang ada di bumi.

Legenda meteor yang ditumpangi setan untuk mengintip dan menyarikan “suara Tuhan” di angkasa tetapi tidak pernah berhasil sejak setan berubah menjadi iblis akibat sikap sombongnya yang tidak mau menjalankan Perinta Yang Maha Memerintah. Iblis didongengkan lari “memeteorkan diri” yang berpotensi menabrak bumi untuk selanjutnya iblis sendiri terjungkal dalam gesekan antar makhluk yang nyaris iblis tidak mampu melihatnya, yaitu partikel-partikel angkasa yang di atas atmosfer, yang Tuhan “mengharamkan” bagi iblis melihatnya dan tidak hendak disentuh oleh kemaksiatan setan.

Namun tetap ketahuilah bahwa hujan juga hadir melalui medium udara sebagai instrumen dimana Tuhan merahmati manusia dengan guyuran air yang secara sains bermula dari siklus “pengayaan pancaran sinar matahari” yang mampu “kawin kontrak” dengan air lautan, sehingga menggumpal menjadi mendung yang arakannya ditunggu kita semua. Hujan turun pada saat kami semua membutuhkan atau memang Tuhan menghadirkannya sesuai dengan qoda dan qadarnya.

Itu semua menjadi penanda bahwa manusia harus memikirkan siklus yang terkadang tidak membentuk butiran kristal melainkan lanju air yang justru siklikal yang melingkar sebagaimana nasib manusia. Dari udara dapat dikabarkan kebahagiaan yang paling sempurna seperti dalam kisah Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang membawa peribadatan paling agung dalam sejarah risalah kenabian. Shalat adalah peribadaatan yang melalui pemuncakan di pekabaran tertinggi dari Sang Pemilik Semesta. Shalat mengajarkan laku kekamilan manusia dan darinyalah setiap ungkapan Tuhan dikumandangkan dengan lirih maupun kentara. Shalat adalah deklarasi yang menjadikan udara memiliki kemuliaan menemukan fungsi dirinya yang bertauhid. Simaklah setiap seruan mendirikan shalat yang berupa azan diarak ke seluruh lingkar bumi. Hanya suara azan yang tidak pernah terputus dalam lingkaran bumi. Inilah suara paling abadi tanpa henti karena tidak ada jeda dalam “mentawafi bumi”.

Dari udara ada pula pekabaran bencana kalau manusia tidak cermat membaca arus “gelombangnya” termasuk “kekayaan panen raya hujan” yang selalu dihadirkan sebagai rahmat. Hujan bukan laknat dan kalaulah sampai hujan itu menimbulkan banjir atau air bah sebagaimana kisah dalam Bahtera Nuh, pasti itu harena ulah manusia sendiri. Risalah Nabi Nuh AS harus menjadi pelajaran yang amat tematik tentang solusi mengatasi banjir yang sangat terencana yang atasnya kita semua musti mau berguru.

Banjir dan tanah longsor juga mewarnai negeri ini sepanjang tahun ini. Di tahun ini, 2018 ini, sebelum peristiwa Lion Air JT 610, sudah terjadi kegemparan yang membuncahkan luapan tangis duka sebanyak 1.999 kasus. Kini genap 2.000 bencana datang tanpa undangan nyata kecuali pesan-pesan laku yang Tuhanlah yang paling mengetahuinya. Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan gunung meletus sejatinya sangat mewarnai. Gunung meletus juga terjadi tetapi saya tetap tidak akan pernah menyangka bahwa itu adalah prahara. Untuk itulah saya tidak akan mengungkapkan ada gunung “murka”, melainkan ada gunung yang tengah “menyapa kepada anak-anak yang sedang diasuh Ibu Pertiwinya”. Sebuah letusan adalah sejuta pengharapan atas nikmat Tuhanmu. Tentu negara harus menata secara organisatoris agar letusan tidak menjadi “prahara” dengan korban jiwa, harta dan benda. Doa kita hantarkan agar Tuhan memudahkan segala urusan bagi seluruh korban bencana terutama Tragedi Lion Air, JT 610. Alfatiha.

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO