​Kiai Asep Mandiri Sejak Kecil, Ayahnya Jual Sarung untuk Dakwah dan Gemar Dirikan Sekolah NU

​Kiai Asep Mandiri Sejak Kecil, Ayahnya Jual Sarung untuk Dakwah dan Gemar Dirikan Sekolah NU Dr KH Asep Saifuddin Chalim di depan para pengurus Muslimat NU di Pondok Pesantren Amanatul Ummah Jalan Siwalankerto Surabaya, Rabu (26/9/2018). Foto: bangsaonline.com

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Sukses Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA sebagai ulama miliarder tapi dermawan ternyata tak lepas dari kehidupan masa kecilnya yang keras. Ulama kharismatik yang kini memiliki 10.000 santri di pesantren yang didirikannya, yakni Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur itu, sewaktu kecil memang sudah terbiasa mandiri. Sehingga ia menjadi pribadi tangguh dan tak gampang menyerah.

Kesaksian itu disampaikan Ustadz Muhammad Nur, tokoh agama Kedung Sroko Kelurahan Pacarkembang Kecamatan Tambaksari Surabaya , kepada EM Mas’ud Adnan, Direktur HARIAN BANGSA, bangsaonline.com dan BBSTV. “Waktu kecil Kiai Asep itu sering di sini (Kedung Sroko-Red). Ia sering bermain di sini,” ungkap Ustadz Muhammad Nur sembari menunjuk gang di depan rumahnya kepada EM Mas’ud Adnan, yang sowan ke kediaman tokoh agama Kedung Sroko tersebut.

EM Mas’ud Adnan yang alumnus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Pascasarjana Unair itu sowan ke Ustadz Muhammad Nur dalam rangka minta doa restu sekaligus dukungan karena ia kini menjadi calon legislatif untuk DPRD Jawa Timur nomor urut 2 dari daerah pemilihan Surabaya. Kebetulan rumah Em Mas’ud Adnan bertetangga dengan Ustadz Muhammad Nur di Kedung Sroko. Em Mas'ud Adnan yang dikenal sebagai penulis buku-buku tentang Gus Dur dan NU itu juga mantan Wakil Ketua Balitbang PWNU Jawa Timur.

Ustadz Nur ngaku tahu tentang kehidupan kecil Kiai Asep karena KH Abdul Chalim, ayah Kiai Asep, pernah tinggal di Kedung Sroko. Ustadz Nur tahu masa kecil Kiai Asep karena tiap hari Kiai Asep bermain di depan rumah Ustadz Nur. Apalagi usia Ustadz Nur memang lebih tua dari Kiai Asep. Kini Ustadz Nur berusia 74 tahun namun masih kelihatan sehat dan segar . Wajahnya teduh dan murah senyum. Sedang Kiai Asep kini berusia 63 tahun.

Menurut Ustadz Nur, Kiai Abdul Chalim banyak mengajarkan Islam kepada masyarakat. Bahkan hampir semua hidupnya hanya untuk berdakwah terutama mengajarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Karena itu tak heran jika Kiai Abdul Chalim banyak mendirikan lembaga pendidikan Nahdlatul Ulama (NU). Termasuk lembaga pendidikan NU di Kedungsroko. Sayang, lembaga pendidikan NU yang didirikan Kiai Abdul Chalim di Kedungsroko itu kemudian jadi sengketa perebutan pihak-pihak tertentu sehingga sempat muncul konflik ke publik.

Yang menarik, dalam menyebarkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah Kiai Abdul Chalim memakai strategi sebagai pedagang sarung keliling. Menurut Ustadz Nur, sarung itu dicicilkan kepada masyarakat terutama di kawasan Kedung Sroko. “Beliau menyicilkan sarung itu agar ia punya alasan untuk mendatangi orang-orang di rumahnya. Setelah datang di rumah orang dan kenal beliau lalu mengajarkan agama,” kata Ustdaz Muhammad Nur.

Jadi Kiai Abdul Chalim melakukan dakwah door to door dengan cara menyicilkan sarung. Karena itu harga sarung yang dicicilkan sama, baik dibayar cash maupun dicicil. “Dengan menawarkan sarung itu dia kan punya kesempatan untuk menemui orang satu per satu di rumahnya masing-masing. Lalu mengajari agama mereka di rumah mereka,” tutur Ustadz Nur.

Ustadz Nur juga bercerita bahwa Kiai Abdul Chalim kemudian berkembang menjadi kiai besar. Kiai asal Leuwimunding Majalengka Jawa Barat itu menjadi Naibul Katib atau Katib Tsani Syuriah PBNU pertama saat Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari jadi Rais Akbar.

Bagaimana tanggapan Kiai Asep Saifuddin Chalim? Ketika dikonfirmasi bangsaonline.com, Kiai Asep membenarkan bahwa ketika kecil memang sering bermain di Kedung Sroko. “Ya saya dulu sering bermain di Kedung Sroko gang III dan gang IV,” tutur Kiai Asep Saifuddin Chalim yang kini dikenal sebagai ulama miliarder tapi dermawan itu kepada bangsaonline.com.

Tapi Kiai Asep mengaku tak tinggal di Kedung Sroko Surabaya seperti saudaranya karena sejak kecil ia tinggal di Sidoarjo. Apalagi ia kemudian mondok di Pondok Pesantren al-Khoziny Sidoarjo. “Yang tinggal di Kedung Sroko itu kakak saya,” ungkapnya.

Meski demikian ia mengakui bahwa abahnya, Kiai Abdul Chalim pernah punya rumah dan tinggal di Kedung Sroko Gang V Surabaya. “Iya di Kedungsroko gang V,” tuturnya. Ia juga mengakui bahwa yang mendirikan sekolah NU di Kedung Sroko itu abahnya. Karena itu saat jadi sengketa, Kiai Asep pernah menawarkan bantuan - termasuk dana - kepada pengelolanya agar kepemilikan sekolah itu dipertahankan untuk NU, bukan perorangan.

"Abah saya banyak mendirikan sekolah NU di Surabaya tapi setelah itu pindah," katanya. Jadi Kiai Abdul Chalim memperbanyak sekolah NU dengan cara mendirikan sekolah-sekolah NU di kawasan tempat tinggalnya tapi setelah itu beliau pindah rumah.

Kiai Asep juga mengakui bahwa kehidupan masa kecilnya sangat keras. Saat mondok ia sekolah di SMP 1 Sidoarjo. “Saya jalan kaki ke SMP 1 Sidoarjo,” katanya. Padahal jarak pesantren al-Khoziny dengan SMP 1 Sidoarjo sangat jauh. “Saya pakai sarung tapi di tengah jalan sarung saya lepas, saya ganti celana pendek. Dulu kan gak boleh (SMP) pakai celana panjang,” katanya.

Kerasnya hidup yang dialami Kiai Asep berlanjut sampai remaja. Saat kuliah ia tak punya biaya sehingga terpaksa bekerja sebagai kuli bangunan. “Saya pernah jadi kuli bangunan di Rungkut (Surabaya). Tapi tak lama, 3 bulan,” ungkapnya.

Begitu juga ketika sudah nikah dengan istrinya, Nyai Alif Fadhila. Ia mengaku tak langsung kaya seperti sekarang. Bahkan bersama Nyai Alif Fadhila, Kiai Asep yang dikenal tekun belajar ini pernah tidur di tempat terbuka karena belum punya rumah. “Saya bersama istri pernah tidur di atas meja untuk jualan,” katanya.

Karena itu wajar jika Kiai Asep yang kini namanya semakin meroket secara nasional ini sangat sensitf terhadap orang miskin. Ia selalu tergugah untuk membantu orang yang kesulitan. Ia bahkan tiap hari bersedekah puluhan juta bahkan ratusan juta.

“Sengsara sekali jadi orang miskin. Kepercayaan diri gak ada,” katanya. Karena itu ia sangat menyayangkan tokoh-tokoh nasional yang kaya raya tapi kurang punya kepedulian sosial.

Bagi Kiai Asep hidup itu idealisme. “Dan idealisme itu harus diperjuangkan,” katanya. Dan perjuangan itu tentu juga butuh pengorbanan harta. Karena itu tokoh-tokoh besar selalu dan pasti dermawan. “Kalau pelit dan tidak punya kepedulian sosial ya gak bakal jadi tokoh besar,” katanya. (MMA)

Lihat juga video 'Sedekah dan Zakat Rp 8 M, Kiai Asep Tak Punya Uang, Jika Tak Gemar Bersedekah':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO