Tafsir Al-Isra 7: Pelecehan Seksual Terhadap Pasien, Siapa Terpuji?

Tafsir Al-Isra 7: Pelecehan Seksual Terhadap Pasien, Siapa Terpuji? Ilustrasi

Tidak sama ketika seorang mampu mengendalikan emosinya, lalu mampu memilah-milah mana perbuatan yang harus marah dan mana yang mesti memaaf tanpa kehilangan martabat. Rasanya, memaaf lebih "harus" dilakukan oleh pihak pasien, hal itu atas pertimbangan:

Pertama, pelecehan tersebut murni masalah kemaksiatan pribadi yang terhenti kepada dialog kedua belah pihak. Tidak ada yang dirugikan secara makro dan bersifat materiel. Kedua, si asisten dokter telah meminta maaf dan menyesali diri. Andai si pasien memaaf, maka dia akan mendapat kebaikan dari berbagai arah, antara lain:

Pertama, dari Allah SWT. Dia akan diampuni dosanya, seperti dia mengampuni kesalahan orang lain. Dia akan dirahmati, karena dia merahmati sesama. Dia akan dilonggarkan oleh Allah, dihilangkan rasa cemasnya karena dia telah melonggarkan orang lain. Justru, siapa yang lebih dahulu menjulurkan tangan -sebagai upaya meminta maaf- maka dialah yang lebih duluan masuk surga. "..fa al-asbaq asbaquhuma ila al-jannah".

Kedua, dari pihak pasien (korban) dan keluarga. Mereka menghormati kemuliaan hati sang pemaaf. Tidak hanya itu, sangat mungkin terjadi jalinan kekeluargaan yang agung antara kedua keluarga dan tali persaudaraan yang menguat. Tidak mustahil, di kemudian hari pihak peleceh atau keluarga yang dimaafkan tersebut sangat dibutuhkan atau menjadi penolong bagi keluarga pasien yang memaafkan tadi. Kita tidak mengerti apa yang akan terjadi, yang menimpa kita di kemudian hari.

Beda ketika si pasien terus tinggi hati dan merasa di atas angin, lalu enggan turun menuju area pemaafan. Hal itu adalah kekecewaan tersendiri bagi si perawat atau si asisten dokter, sekaligus catatan. Di sini, pihak pasien kehilangan peluang rahmat yang mungkin terkucur lewat pintu itu, padahal -mungkin- sangat dibutuhkan.

Ketiga, mendapat kebaikan dari publik karena telah menunjukkan akhlaq mulia yang patut dicontoh. Memaaf tidak berarti lemah, tidak pula berarti membiarkan kejahatan berjalan tanpa teguran. Sebab sudah ada aturan dan etika tersendiri yang mesti dijalankan. Soal siapa yang terpuji?

Orang yang baik bukanlah orang yang sudah berperilaku baik, tetapi orang yang selalu berusaha memperbaiki perilakunya. Orang baik selalu merasa kurang baik, sedangkan orang kurang baik selalu merasa sudah baik. Memperbaiki orang yang merasa tidak baik lebih mudah ketimbang memperbaiki orang yang sudah merasa baik. (*)

Sumber: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO