Ziarah Walisongo dan Salat Jama'

Ziarah Walisongo dan Salat Jama

Walaikumsalam Wr Wb

Saya memahami substansi pertanyaan Bapak dalam tiga hal. Pertama, bagaimana hukum berziarah ke kubur para wali? Kedua, apakah perjalanan (safar) tersebut mengakibatkan diperbolehkannya melakukan salat secara jamak baik takkhir atau takdim? Ketiga, apakah salat yang boleh diqasar dan dijamak itu ada syarat yang harus dipenuhi?

Pertanyaan pertama, dapat saya katakan bahwa berziarah ke kubur kaum Muslim yang diyakini sebagai mubaligh yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa dan kemudian populer dengan Walisongo (Wali yang jumlahnya sembilan) atau Walilimo (Wali yang jumlahnya lima) itu dihukumi sebagai sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), sepanjang dalam ziarah tersebut tidak dicampuri perbuatan dan kayakinan yang mengarah pada kemaksiatan dan syirik. Istinbath hukum ini diambil dari sabda Rasul saw. laporan Buraidah ra. yang menyatakan bahwa Rasul bersabda: “Dahulu saya melarang Anda untuk melakukan ziarah kubur (sekarang) berziarahlah Anda ke kuburan itu, sebab ziarah tersebut akan mengingatkan Anda pada kehidupan setelah kematian atau akhirat.” (Hr. Muslim).

Hadist ini menjelaskan bahwa pada mulanya ziarah kubur itu dilarang yang dalam hukum berkonotasi haram, karena diduga kuat bahwa pada awal para sahabat masuk Islam keyakinan bahwa orang-orang suci yang meninggal itu masih bisa memberi manfaat bagi orang-orang dan keluarganya yang masih hidup. Keyakinan seperti ini, dalam Islam tentu tidak benar yang berakibat syirik. Karena itulah Rasul melarang ziarah kubur. Jadi, sepanjang ziarah kubur hanya semata-mata untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal itu berkonotasi hukum boleh (jawaz). Ketentuan hukum ini berdasarkan kaidah bahwa perintah yang datang setelah dilarang, itu akibat hukumnya adalah boleh. Hadis tersebut menjelaskan, pada mulanya Rasul melarang ziarah kubur, kemudian setelah keimanan kaum Muslim sudah bersih dari kontaminasi kepercayaan Jahiliah, maka Rasul memerintahkan untuk melakukan ziarah kubur. Bahkan, Rasul memberi catatan bahwa ziarah kubur akan mengingatkan seseorang pada kehidupan setelah kematian. Catatan Rasul tersebut, membuat saya memahami bahwa ziarah kubur yang mendorong seseorang ingat pada kematian berkonotasi hukum tidak hanya boleh (jawaz) dan dianjurkan (sunnah), tetapi bagi saya hukum ziarah kubur seperti catatan Rasulullah itu berkonotasi hukum sangat dianjurkan (sunnah muakkadah).

Untuk pertanyaan kedua dan ketiga, mengingat perjalanan melakukan ziarah ke Walisongo atau Walilimo itu hukumnya minimal boleh, sunah bahkan sunah muakkadah, maka perjalanan seperti itu dalam fikih diperkenankan untuk menjamak salat zuhur dan ashar sekaligus qasar ataumenjamak magrib dan isya baik takkhir maupun taqdim. Tetapi persoalannya apakah jarak antara Surabaya-Gresik memenuhi syarat yang dalam bahasa fikih disebut masafah al-qashr yang jika dikonversi dalam hitungan jarak kaidah modern itu menjadi 80-90 km. Padahal, jarak antara Surabaya-Gresik hanya 30-40 km. Untuk itu dari sisi jarak secara fikih perjalanan Gresik-Surabaya tidak memenuhi syarat masafah al-qashar. Karena itu salat zuhur dan ashar dalam perjalanan ziarah Walilimo antara Surabaya-Gresik tidak boleh diqasar dan dijamak, kecuali jika perjalanan itu diteruskan dari Gresik menuju Tuban dan akan kembali ke Surabaya. Jika ini yang terjadi berarti perjalanan ziarah tersebut memnuhi syarat masafah al-qashr yang tentu Bapak dan rombongan boleh untuk mengqasar salat. Tetapi jika perjalanan ziarah hanya terbatas Surabaya-Gresik itu tidak memenuhi masafah al-qashr. Jadi Bapak dan rombongan diharapkan untuk salat seperti biasa. Semoga Bapak paham penjelasan saya. Wallahu a’lam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO