Budaya Nyakar

Budaya Nyakar Suparto Wijoyo

Surabaya yang sparkling terkadang nganeh-nganehi. Di Surabaya orang tidak wagu mempertontonkan benda berharganya. Kota pun selayaknya gadis yang sedang ditelanjangi sambil dipelototi banyak mata. Mungkin “pemegang restu” sedang mengevaluasi bahwa BCB adalah sekadar onggokan ”kain lusuh yang selusuh-lusuhnya”.

Apa yang dinamakan bendah cagar budaya sebagai warisan leluhur yang musti diuri-uri untuk meneguhkan perjalanan sejarah yang membanggakan. Sejarah perkotaan mencatat konon Surabaya punya Pasar antik kang aran Pasar Turi maupun Wonokromo. Stasiun Semut atau Stasiun Kota bagi tempat bertambatnya Kerata Api, pastilah unik.

Ya konon Surabaya pernah mempunyai Stasiun Semut yang ikonik. Semut saja dibuatkan stasiun lho. Di Bubutan pernah bertengger Rumah Sakit Mardi Santoso. Eh jawabnya sama konon punya Rumah Sakit yang diharapkan membuat pasiennya sentosa.

Tengok juga Pabrik Kulit Wonocolo. Ternyata jawabnya sama. Konon Surabaya pernah mempunyai pabrik kulit yang historis buanget. Jebule Surabaya itu adalah kota konon yang sekonon-kononnya. Lantas di mana hukum cagar budaya kita? Ok ... sejak lama Indonesia itu mempunyai Undang-undang No. 5 Tahun 1992 dan kini Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar

Budaya. Undang-undang ini merupakan instrumen hukum untuk melindungi “peradaban” yang memiliki makna kesejarahan monumental sebagai perlambang bahwa kawasan tertentu mempunyai “cita rasa kultural”. Di samping itu, ada pula Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Undang-undang yang menegaskan betapa pentingnya menjamin kelestarian bangunan sebagai identitas perkotaan.

Benda-benda cagar budaya di Surabaya kalaulah diidentifikasi sepertinya berlahan “hilang sirna kertaning bumi”. Saya khawatir di Kota Surabaya yang tumbuh adalah cakar budaya yang apabila dibalik berbunyi budaya nyakar (cakar).

Jangankan “warung pracangan” warga miskin perkotaan tidak dicakar, gedung atau tanah yang bersejarah saja dijarah dalam kisaran yang menggelisahkan. Mungkin lebih tepat, jangankan tanah tidak dijarah atau jabatan diperebutkan dengan saling cakar, hak-hak warga yang sejatinya pemilik sah kota saja ada yang tega mengkhianatinya, mencakarinya.

Dalam konteks ini Surabaya peradabannya benar-benar tidak masuk sama sekali dalam logika Akira Iida pada buku hebatnya Paradigm Theory & Policy Making yang memahami peradaban sebagai a dynamic concept. Apakah ini pertanda ada kota yang ”mati konsep” historisnya?

*Penulis merupakan Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO