Presidential Threshold Diusulkan Direvisi, Demokrat, Golkar, dan PDIP Menolak

Presidential Threshold Diusulkan Direvisi, Demokrat, Golkar, dan PDIP Menolak

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Tidak hanya ancaman bagi partai kecil, pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden atau dalam draf RUU Pemilu, adalah tindakan diskriminatif bagi partai baru.

Diketahui, Presidential Threshold berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD termasuk pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 harus dilaksanakan bersamaan. Putusan tersebut merupakan jawaban MK atas gugatan uji materi UU 42/2014 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Atas putusan itu, setiap parpol berhak mengusung capres-cawapres pada 2019.

"Partai baru sudah jelas mengalami patahan di tengah jalan. Mati sebelum berkembang," kata pengamat politik dari UIN Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, dikutip dari RMOL.co, Senin (16/1).

Terlebih, lanjut Pangi, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan digelar serentak pada pemilihan umum 2019 nanti.

"Kalau pun dipaksakan menjadi UU, ada potensi akan dibatalkan di MK via judicial review," ujar Pangi, yang juga direktur eksekutif Voxpol Center.

Dalam draf RUU Pemilu yang diserahkan ke DPR, Pemerintah mengusulkan agar capres dan cawapres dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.

Diketahui, ada beberapa parpol baru yang sudah diverifikasi Kemenkumham. Di antaranya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Islam Damai Aman (Idaman).

Dilansir Republika Online, Wakil Ketua Umum DPP PAN Viva Yoga Mauladi mengungkapkan, pihaknya sudah memberikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk revisi UU Pemilu. Dalam DIM tersebut, PAN mengusulkan Parliamentary Treshold (PT) nol persen.

Menurutnya, PT digunakan sebagai alat untuk menyederhanakan jumlah partai politik di Parlemen. Tapi ternyata hal itu tidak efektif. Buktinya sejak Pemilu 2004 dengan PT 2,5 persen menghasilkan 9 partai. Saat pemilu 2014, dengan PR 3,5 persen justru menempatkan 10 partai di Parlemen.

"Disproporsionalnya semakin tinggi, maka akan mengurangi atau merendahkan tingkat representasi derajat keterwakilan. Itu akan menyebabkan suara sah nasional banyak yang hilang atau tidak bisa dikonversi menjadi kursi," kata Viva.

Namun, jika usulan nol persen tidak disepakati, maka ia meminta PT tetap 3,5 persen. Sebab, Parpol lembaga pemersatu bangsa, sebagai faktor integrasi nasional, sehingga derajat representasi harus menyebar di pelosok negeri.

"Kalau semakin tinggi, akan menyebabkan disproporsionalitas," ucapnya.

PAN juga mengusulkan Ambang Batas Presiden atau Presidential Treshold nol persen. Alasannya, saat ini partai-partai yang dapat mengusung pasangan calon hanya yang lolos PT 3,5 persen.

Sehingga, tidak ada alasan lagi untuk dibatasi. Apalagi, dengan semakin tingginya ambang batas presiden, akan mengurangi tumbuhnya calon-calon presiden baru yang akan menghambat proses kompetisi.

"Selain itu, untuk membuka peluang regenerasi, artinya kan semakin banyak calon semakin bagus. Biar rakyat yang langsung yang menilai," ucapnya.

Sumber: rmol.co/republika.co.id

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO