Kementerian ATR/BPN Selamatkan Aset Rp9,67 Triliun Lewat Penyelesaian Konflik Pertanahan

Kementerian ATR/BPN Selamatkan Aset Rp9,67 Triliun Lewat Penyelesaian Konflik Pertanahan Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, saat konferensi pers.

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Kementerian ATR/BPN di bawah kepemimpinan Nusron Wahid mencatat capaian signifikan dalam penanganan konflik pertanahan selama satu tahun terakhir. 

Melalui langkah cepat dan kolaboratif lintas lembaga, potensi kerugian sebesar Rp9,67 triliun berhasil diselamatkan dari berbagai sengketa dan perkara tanah di sejumlah daerah.

“Penyelesaian konflik pertanahan bukan hanya soal kepastian hukum, tapi juga penyelamatan aset negara dan perlindungan hak masyarakat. Tanah harus menjadi sumber kesejahteraan, bukan sumber masalah,” kata Menteri ATR/BPN, dalam keterangannya, Minggu (26/10/2025).

Sepanjang Oktober 2024 hingga Oktober 2025, Kementerian ATR/BPN menerima 6.015 kasus pertanahan. Sebanyak 3.019 kasus atau 50,02 persen telah diselesaikan melalui mediasi, verifikasi data, dan koordinasi dengan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah. Sisanya, 3.006 kasus masih dalam proses penanganan melalui mekanisme non-litigasi dan jalur Reforma Agraria.

“Penyelesaian kami dorong lebih cepat dan berkeadilan, agar masyarakat mendapatkan kepastian hak tanpa harus menempuh jalur panjang di pengadilan,” ucap Nusron.

Dari penyelesaian tersebut, tanah seluas 13.075,94 hektare berhasil diselamatkan dari penguasaan ilegal, tumpang tindih hak, dan potensi penyalahgunaan aset. Nilai kerugian yang berhasil dicegah terdiri dari:

- Kerugian nyata (real loss): Rp6,72 triliun

- Kerugian potensial (potential loss): Rp1,67 triliun

- Potensi kehilangan penerimaan negara (fiscal loss): Rp1,27 triliun

“Setiap konflik tanah yang berhasil diselesaikan berarti ada uang negara yang terselamatkan, ada keluarga masyarakat yang haknya dipulihkan, dan ada keadilan yang ditegakkan,” kata Nusron.

Di bawah kepemimpinannya, penanganan konflik tidak hanya berfokus pada penyelesaian, tetapi juga membangun sistem pencegahan berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan meliputi pemetaan digital, perbaikan data spasial, transparansi layanan, dan koordinasi aktif dengan Kejaksaan Agung, Polri, serta Komisi II DPR RI.

“Era baru penanganan konflik pertanahan harus kolaboratif dan berbasis data. Dengan sistem digital dan tata kelola yang terbuka, potensi konflik bisa dicegah sebelum terjadi,” tuturnya.

Ia menegaskan, penyelesaian konflik pertanahan merupakan bagian integral dari Reforma Agraria yang menempatkan rakyat sebagai penerima manfaat utama.

“Visi kami jelas, tanah tidak boleh lagi menjadi sumber sengketa, tapi menjadi sumber keadilan dan kesejahteraan. Itulah makna sebenarnya dari kehadiran negara di bidang agraria,” pungkasnya. (afa/mar)