LGBT dan Kriminalisasi Tindakan Seksual dalam RKUHP

LGBT dan Kriminalisasi Tindakan Seksual dalam RKUHP Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Unair, Kemal F Royadi.

Oleh Kemal F. Royadi -- Mungkin sebagian dari masyarakat sudah mengetahui bahwasannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang berlaku di Indonesia adalah produk warisan Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indië

Sampai saat ini, KUHP yang digunakan adalah kitab hukum pidana yang sudah ada sejak tahun 1918 dan merupakan turunan dari versi aslinya yang ada di Belanda. Keabsahan penggunaan KUHP Belanda ini juga sudah diatur sejak awal kemerdekaan, yakni pada tahun 1946 melalui UU No. 1 Tahun 1946.

Bahkan setelah undang-undang itu berlaku, Belanda (yang saat itu adalah NICA) kembali datang ke Indonesia dan lagi-lagi membawa KUHP yang baru yakni Wetboek van Strafrecht voor Indonesië. 

Adanya dua KUHP yang ironisnya sama-sama buatan asing ini membuat Indonesia menjadi bingung. Baru sampai tahun 1958, ditetapkanlah satu KUHP saja, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indië, agar tidak terjadi kebingungan di kalangan masyarakat.

Muncul pertanyaan, “kapan Indonesia akan memiliki KUHP buatannya sendiri?” Memang dalam membangun sebuah kitab hukum pidana yang sangat lengkap bukanlah suatu hal yang mudah. Sama halnya dengan pepatah “Roma tidak dibangun dalam semalam”, KUHP juga memerlukan berbagai tahapan agar dapat benar-benar menjadi kitab hukum pidana yang komprehensif.

Kabar baiknya adalah bahwa dalam waktu dekat ini, Indonesia akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP. Ini akan menjadi KUHP yang bisa dibilang asli buatan Indonesia. Nantinya KUHP ini akan menggantikan KUHP “kuno” produk Belanda yang beberapa pasalnya sudah dihapus ataupun diubah dengan peraturan yang lebih baru. Selain itu, KUHP yang baru ini akan menjadi salah satu tanda akan kemerdekaan Indonesia dan menuju negara yang lebih mandiri dan berdikari.

Dalam merancang KUHP yang baru ini, ada beberapa hal yang berbeda dengan KUHP warisan Belanda. Sebagai contoh pada RUU KUHP, kejahatan dan pelanggaran sudah tidak dipisah melainkan dijadikan satu sebagai “tindak pidana.” Selain dalam hal pembagian kitab, unsur kalimat yang ada pada tiap-tiap pasalnya juga mengalami perubahan. Dalam kasus ini, kita menilik pada Pasal 420 ayat (1) RUU KUHP yang oleh masyarakat sedang menjadi topik perbincangan yang hangat.

Adapun bunyi pasal tersebut adalah “Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya: a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III. b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. c. yang dipublikasikan sebagai muatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

Menurut pasal di atas, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar tindakan cabul tersebut dapat dikenai hukuman pidana yakni di depan umum, dengan kekerasan, atau disebarkan sebagai konten bermuatan . Pasal tersebut juga tidak memandang bulu pada siapapun perbuatan tersebut dilakukan. Adanya kalimat “berbeda atau sama jenis kelaminnya” menjadi ramai diperbincangkan di masyarakat, khususnya di kalangan pendukung atau simpatisan gerakan LGBT.

Pasal tersebut dengan “cukup jelas” menyampaikan bahwa tindakan cabul bisa dilakukan oleh siapa saja, baik itu terhadap mereka yang memiliki jenis kelamin berbeda ataupun sama tanpa memandang usia. Tentu banyak masyarakat yang menyambut baik akan adanya unsur yang memperjelas pasal tersebut.

LGBT sampai sekarang masih dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak sejalan dengan norma yang ada pada masyarakat Indonesia. Jika unsur tersebut tidak ditambahkan, maka yang ada hanyalah hukum yang rancu dan kurang lengkap. Kalimat itu berfungsi sebagai penegas bahwa tidak ada pengecualian atau hal yang luput terkait dengan pemidanaan tindakan pencabulan.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO