Tafsir Al-Isra 1: Isra' dan Mi'raj Bukan Peristiwa Ilmiah | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Isra 1: Isra' dan Mi'raj Bukan Peristiwa Ilmiah

Wartawan: -
Sabtu, 04 November 2017 16:43 WIB

Ilustrasi. foto: bersamadakwah.net

Ilmuwan besar, fisikawan besar pada umumnya diam dan tidak mencoba memaksakan diri merasionalkan peristiwa mukjizat yang supra itu. Mereka pribadi yang jujur dan tahu batasannya, sehingga tidak pongah, lalu tunduk kepada keajaiban yang memang nyata-nyata ada. Itulah ilmuwan yang obyektif dan mengerti keberadaan diri di tengah kebesaran jagad raya ini.

Tidak sama dengan ilmuwan kacangan yang sok memaksakan kaedah fisika sebagai segala-galanya, sehingga seajaib apapun peristiwa alam mesti bisa dirasionalkan,dipelajari, dicipta meski ujungnya hanya kira-kira dan tidak tuntas. Lalu berlindung diri pada kecanggihan temuan masa depan.

Semisal analisis ilmiah terkait perjalanan al-isra' dan al-mi'raj. Perjalan malam dalam waktu super singkat ber-start dari al-Masjid al-Haram Makkah dan finis di al-Masjid al-Aqsha Palestina yang berjarak lebih kurang 1.500 kilometer. Jika ditempuh dengan kecepatan cahaya hanya dibutuhkan waktu 0.05 detik. Sedangkan al-Mi'raj, dari bumi Palestina ke Sidrah al-Muntaha sungguh hanya Allah SWT saja yang mengetahui jaraknya.

Menurut ahli fisika kenamaan, Albert Einsten: “benda padat tidak akan bisa terbang pakai kecepatan cahaya, pasti hancur berantakan”. Ya hal itu karena menyalahi sifat alamiah yang dimiliki dan melawan kodratnya.

Dari gambaran yang begitu tak terhingga, ilmuwan beriman pasti tunduk dan tidak akan membuka peluang, bahwa ke depan akan bisa dipelajarai dan bisa ada perjalanan menempuh ruang sidrah itu. Ya, karena mereka menuhankan ilmu fisika sebagai segala-galanya. Sementara ini, andalan paparannya hanya bertumpu pada "DIMENSI".

Gambarannya begini: itu perubahan dari materi, yakni bodi Nabi ketika masih di al-Masjid al-Haram, menjadi immateri saat menempuh perjalanan, lalu menjadi materi lagi saat kembali ke tempat asal. Mereka bersikukuh dimensi itu adalah fisis yang mesti bisa dicapai, dipelajari.

Tapi jika ditanyakan hakekat "dimensi" itu apa? bisakah kita mengubah dimensi materi menjadi immateri? Caranya bagaimana? Pakai teknik apa?

Mereka pasti menjawab "itu soal waktu dan ke depan pasti bisa". Satu sisi, kita mesti menghargai kesungguhan menggapai teknologi tercanggih. Memang tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, tapi bagi manusia, mustahil itu benar-benar ada dan sudah diisyaratkan, termasuk indikator dan batasannya.

Sisi lain dari isyarat kata "subhan" adalah, bahwa Tuhan jauh-jauh sudah memberi peringatan, bahwa dalam menyikapai peristiwa al-isra' ini harusnya manusia memakai dasar keimanan lebih utama, bukan dasar akal sebagai pembacaan. Dasar keimanan akan menumbuhkan tambah kuatnya keimanan, sedangkan pembacaan berdasar akal bisa berakibat mereduksi keimanan, sementara temuan akaliah belum tentu didapat.

Dasar akaliah selain merangsang berteknologi canggih meski dalam tanda kutip tidak akan didapat secara totalitas, juga bisa merangsang timbulnya ketakabburan diri dan perendahan terhadap kemuliaan mukjizat. Peristiwa al-isra' tidak lagi diimani sebagai mukjizat yang luar biasa, karena dianggap sebagai peristiwa teknologi biasa, padahal nyata-nyata bukan teknologi biasa, melainkan luar biasa. Allah a'lam.     

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video