Tanya-Jawab Islam: Dam Bagi Umrah Berulang-ulang di Musim Haji | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tanya-Jawab Islam: Dam Bagi Umrah Berulang-ulang di Musim Haji

Jumat, 19 Agustus 2016 23:48 WIB

DR KH Imam Ghazali Said MA

>>>>>> Rubrik ini menjawab pertanyaan soal Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan pembimbing Dr. KH. Imam Ghazali Said. SMS ke 081357919060, atau email ke bangsa2000@yahoo.com. Jangan lupa sertakan nama dan alamat. <<<<<<

Pertanyaan:

Pak yai, sebenarnya di dalam melaksanakan ibadah haji ini diperintahkan berapa kali untuk melaksanakan umrah, apakah sekali atau dua kali atau boleh lebih dari itu tanpa batas? Kemudian karena umrah itu dianggap sunnah maka para jamaah haji itu melakukan umrah berkali-kali pada masa tunggu sebelum waktu haji tiba, walhasil banyak yang sudah loyo saat manasik haji itu tiba. Dan yang saya tanyakan berapa kali sebenarnya rasulullah saw melakukan umrah saat beliau saw melaksanakan haji? Terima kasih. (Abdullah, Surabaya)

Jawab:

Pada dasarnya kita dalam melaksanakan ibadah mahdoh itu harus menganut sesuai dengan yang diajarkan rasulullah saw. Apalagi dalam permasalahan ibadah haji, rasulullah berpesan pada saat haji wada’ sebagaimana laporan sahabat Jabir bin Abdillah ra :

خذوا عني مناسككم

“Ambillah dariku cara-cara ibadah haji ini”. (HR. Baihaqi : 9796). Maka dari dasar ini pelaksanaaan ibadah haji dan umrah harus tepat sesuai dengan tuntunan beliau saw, dari sisi waktu, sisi tempat dan teknis pelaksanaannya.

Perlu diketahui bahwa semua hadis yang terkait dengan haji dan umrah Rasul itu tercatat dalam al-Kutub al-Sittah. Pendapat yang menyatakan bahwa Rasul itu berhaji ifrad memang berdasarkan teks-teks hadis yang pada umumnya berasal dari rawi sahabi Aisyah ummul mukminin ra. Secara bahasa ifrad itu berarti tunggal, maksudnya Rasul hanya berhaji dan tidak berumrah. Takrif ini yang dapat dipahami ketika hadis-hadis tentang haji dan umrah dikodifikasi atau dikumpulkan secara keseluruhan di dalam kutub sittah. Jika pengertian haji ifrad seperti ini, maka tidak salah bahwa Rasul dianggap pada saat itu hanya melaksanakan haji tidak melaksanakan umrah. Rekonstruksi pemahaman Ifrod secara fiqih belum muncul.

Perlu diketahui bahwa bulan Syawal, Zulka’dah dan awal Zulhijah adalah musim haji yang hanya digunakan untuk ibadah haji, bukan untuk ibadah umrah. Ini sesuai dengan informasi Alquran yang menyatakan: “Haji itu dilakukan pada bulan-bulan yang diketahui” (Qs. al-Baqarah [2]: 197).

Perlu diketahui pula bahwa haji merupakan tradisi keagamaan yang bisa dilacak eksistensinya sejak zaman Nabi Ibrahim as dan secara terus menerus dilaksanakan sampai masa jahiliah (200 tahun nabi diutus sebagai rasul pada tahun 611 M). Teknik pelaksanaan haji pada Nabi Ibrahim as sampai rasul melaksanakan ibadah haji pada tahun 632 M, bahwa waktu haji dan umrah itu dipisah. Bulan syawaal, zul qodah dan awal zul hijjah adalah khusus untuk haji. Dan pada waktu ini tidak ada umrah. Umrah dilakukan pada selain bulan-bulan itu. Tradisi seperti inilah yang dihadapi oleh kaum muslim masa awal yaitu Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Nabi Muhammad ketika melaksanakan haji mengikuti tradisi ini. Jadi dalam persepsi para sahabat nabi waktu haji dan umrah itu dipisah secara tegas. Menurut pemahaman mereka umrah pada musim haji itu dianggap sebagai perbuatan dosa besar. Hal ini sebagai mana hadis laporan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّ الْعُمْرَةَ فِى أَشْهُرِ الْحَجِّ مِنْ أَفْجَرِ الْفُجُورِ فِى الأَرْضِ وَيَجْعَلُونَ الْمُحَرَّمَ صَفَرً وَيَقُولُونَ إِذَا بَرَأَ الدَّبَرْ وَعَفَا الأَثَرْ وَانْسَلَخَ صَفَرْ حَلَّتِ الْعُمْرَةُ لِمَنِ اعْتَمَرْ. فَقَدِمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَصْحَابُهُ صَبِيحَةَ رَابِعَةٍ مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَجْعَلُوهَا عُمْرَةً فَتَعَاظَمَ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْحِلِّ قَالَ « الْحِلُّ كُلُّهُ »

“Mereka (orang Arab) memandang bahwa umrah pada bulan-bulan haji itu dianggap perbuatan dosa yang paling jahat di muka bumi. Mereka mengundur bulan muharram menjadi bulan safar seraya berkata: Jika sampah-sampah telah tersingkir dan bekas kaki kendaraan telah bersih serta bulan safar telah mengelupas, maka mereka yang mau umrah diperbolehkan. Dan ketika rasul dan para sahabat tiba saat pagi tanggal 4 zul-hijjah itu dalam keadaan berihram haji. Lalu rasul memerintahkan mereka untuk merubah niat hajinya menjadi umrah. Menurut mereka perintah ini adalah persoalan yang besar, oleh karena mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, Tahallul yang mana?” beliau menjawab: “Tahallul seluruhnya”. (Hr. Muslim:2943)

Dan setelah rasulullah meninggal, pada masa sahabat pun masih merasakan keragu-raguan atas bolehnya umrah di musim haji, Umar bin Khattab pernah melarang umat muslim melakukan haji tamattu’, yang mendahulukan umrah kemudian berhaji. Ini sebagaimana sebagaimana astar yang dilaporkan oleh Abu Nadhroh:

كنت عند جابر بن عبدالله فأتاه آت فقال إن ابن عباس وابن الزبير اختلفا في المتعتين فقال جابر فعلمناهما مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم نهانا عنهما عمر فلم نعد لهما

“Dulu aku pernah bersama jabir bin Abdillah, kemudian datanglah seseorang bercerita bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair sedang berselisih pendapat tentang dua mut’ah. Lalu Jabir berkata kami melakukan dua hal tersebut bersama Rasulullah, kemudian dilarang oleh Umar dan kami belum melakukan hal itu lagi”. Dan yang dimaksud dua mut’ah adalah haji tamattu’ dan nikah mut’ah.(Hr. Muslim:1249)

Sepeninggal umar, Ali bin Abi Thalib dan Ustman bin Affan pun masih berselisih pendapat tentang haji tamattu’. Namun, Ali dengan tegas akan melakukan haji dan umrah sekaligus. Said bin Musayyab melaporkan :

اخْتَلَفَ عَلِيٌّ وَعُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُمَا بِعُسْفَانَ فِي الْمُتْعَةِ فَقَالَ عَلِيٌّ مَا تُرِيدُ إِلَّا أَنْ تَنْهَى عَنْ أَمْرٍ فَعَلَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ عَلِيٌّ أَهَلَّ بِهِمَا جَمِيعًا

“Ali dan Usman berbeda pendapat ketika mereka berada di lembah usfan tentang haji tamattu’. Ali berkata: “Anda tidak punya keinginan lain sampai Anda bisa melarang suatu amalan yang dilakukan oleh Nabi”. Setelah melihat sikap usman yang demikian, maka dia menggabungkan antara haji dan umrah”. (Hr. Bukhari:1569)

Problem dan keragu-raguan melaksanakan umrah pada bulan-bulan haji ini terjadi sejak era Nabi, Khulafaurrasidin dan masa dua abad berikutnya. Ibnu Hazm mengoleksi hadis-hadis dan atsar yang terkait dalam problem ini dalam kitab hajjatu al-Wada’.

Setelah era-era ini, muncullah para fuqoha’ yang selalu mengkaitkan haji dengan umrah sehingga muncul istilah ifrad, qiran dan tamatuk sebagai khazanah fikih Islam. Dengan demikian, takrif haji menurut fuqaha menjadi semua model pelaksanaan manasik yang harus memadukan antara haji dan umrah. Atas dasar pemikiran ini, takrif haji ifrad menurut para fuqaha adalah melaksanakan haji lebih dahulu kemudian berumrah. Dan haji tamatuk adalah berumrah lebih dahulu kemudian berhaji. Sedangkan haji qiran adalah memadukan haji dan umrah sekaligus (dalam satu amalan dan satu waktu).

Kemudian Rasulullah melaksanakan cara haji yang mana? Menurut pemahaman hadis-hadis di atas Rasul melakukan haji ifrad, melakukan haji saja. Namun, jika mengikuti takrif para fuqaha, maka jelas Rasul itu melaksanakan haji qiran dengan argumen rasulullah hanya sa’i satu kali dan tidak melakukan umrah usai pelaksanaan haji. Tidak satu hadis pun yang menyatakan bahwa Nabi sa’i untuk haji dan sa’i untuk umrah atau sebaliknya. Dengan demikian menurut fuqoha, Nabi melaksanakan haji qiran sebagaimana pendapat ibnu jauzi. Sedang Aisyah, karena –menstruasi/haid– melaksanakan haji lebih dahulu, kemudian ia melaksanakan umrah dari Tan’im seperti sangat populer termaktub dalam hadis-hadis sahih dan dikutip oleh para fuqaha. Dengan demikian, Aisyah yang melaksanakan haji ifrad, sedangkan Nabi saw tidak melaksanakan haji ifrod tapi melaksanakan haji qiron karena definisi yang diungkapkan para fuqoha, yaitu memadukan haji dengan umrah.

Jadi, umrah yang dilakukan pada bulan-bulan haji adalah umrah yang sepaket dengan haji, bukan umrah sunnah. Maka umrah berkali-kali, apalagi dilakukan pada saat haji itu tidak dianjurkan atas dasar alasan di atas. Alasan yang lain adalah tidak ditemukan satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa ada diantara para sahabat yang menyertai haji rasulullah yang pergi ke tanah halal untuk melakukan ihram umrah selama masa tunggu, tidak dari tanim, tidak dari jikranah atau hudaibiyah untuk tujuan umrah. Dan rasulullah dan para sahabat (kecuali aisyah) tidak pernah melakukan umrah dari mekkah walaupun semenjak mekkah itu ditaklukkan.

Oleh sebab itu sebaiknya para jamaah haji tidak melakukan umrah berulang-ulang. Kita sebaiknya mengikuti apa yang diajarkan rasulullah dalam masalah haji. Kalaupun ingin melaksanakan umrah, dapat dilakukan setelah prosesi haji selesai. Itu sebuah solusi dan pandangan dari sisi historis haji rasulullah. Implikasinya adalah bagi yang melaksanakan umrah di dalam prosesi haji maka ia terkena wajib bayar hadyu, seperti haji tamattu’ dan qiran, keduanya wajib membayar hadyu karena melaksanakan umrah di dalam masa haji. Implikasi kedua, maka apabila ia melakukan umrah dua atau tiga kali maka ia akan terkena bayar hadyu dua atau tiga kali juga, sebanyak umrah yang dilaksanakan pada saat bulan-bulan haji.

Pandangan yang mengatakan mumpung di sana dianjurkan umrah berkali-kali itu tidak berdasarkan tuntunan dari rasul dan sahabat, banyak bentuk ibadah lain yang bisa diperbanyak untuk mengisi aji-aji mumpung di sana. Pandangan yang saya terangkan ini belum terkenal di antara masyarakat, dan mungkin masih dianggap asing dalam permasalahan manasik haji. Seharusnya, selain sisi hukum haji secara fiqih, perlu juga diungkap ke muka masyarakat sisi-sisi historis haji dan umrah rasulullah agar membuka kebenaran manasik haji yang dilakukan rasulullah saw

Dan anjuran untuk umrah itu dilakukan pada bulan-bulan selain bulan haji, yaitu selain bulan syawal, dzul qa’dah dan awal dzul hijjah. Di sana juga ada beberapa hadis yang menganjurkan umrah di bulan Ramadan, tapi rasulullah sendiri belum pernah melaksanakan umrah di bulan itu. Maka umrah Ramadan ini bukan sunah fikliyah Rasul. Tetapi keutamaan umrah pada bulan Ramadan itu dalam kategori sunah qauliyah beliau bersabda: “Satu kali umrah pada bulan Ramadan itu setara dengan satu kali haji bersamaku.” (Hr. Bukhari-Muslim), dan masih ada beberapa hadis sahih yang menjelaskan keutamaan umrah di bulan Ramadan. Wallahu a’lam.

 

 Tag:   tanya jawab

Berita Terkait

Bangsaonline Video