Pada Era Gus Dur, Kiai Tak Cuek pada PBNU, karena Tak Alergi Kritik, Tak Gila Hormat
Editor: MMA
Rabu, 01 Juni 2022 09:03 WIB
Gus Dur memang tak gila hormat. Bahkan Gus Dur tak jarang tidur di masjid saat menunggu tampil sebagai pembicara. Para wartawan di Surabaya beberapa kali menjumpai Gus Dur tidur pulas di teras masjid. Mereka (wartawan) yang mau mewawancarai Gus Dur pun harus menunggu tokoh kontroversial itu bangun dari kepulasan tidurnya.
Jadi Gus Dur tak hidup mewah. Sejak muda! Inilah yang seharusnya diteladani oleh para ketua umum PBNU. Juga pengurus PBNU yang lain. Termasuk PW dan PC NU.
Mungkin karena faktor back ground yang lengkap itulah Gus Dur sangat percaya diri (PD) ketika kemudian terpilih sebagai ketua umum PBNU. Pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo.
Harus dicatat, Gus Dur sudah menyandang nama besar jauh sebelum menjadi ketua umum PBNU. Jadi – maaf - beda sekali dengan sebagian atau pada umumnya para ketua atau pengurus NU. Yang baru populer dan merasa berkuasa setelah menjadi ketua atau pengurus NU. Sehingga tindakannya kadang tak terkontrol. Bahkan sensi dan alergi kritik.
(Gus Dur dan Gus Mus. Foto: ist)
Gus Dur yang punya nama lengkap Abdurrahman Ad-Dakhil itu justru sebaliknya. Reputasi pemikiran, keilmuan dan ketokohannya sudah diakui secara nasional dan internasional. Jauh – sekali lagi - sebelum menjabat ketua umum PBNU.
Memang, dengan menjabat sebagai ketua umum PBNU, derajat Gus Dur semakin terangkat naik. Pasti. Tapi sebaliknya, Gus Dur juga sangat berperan besar untuk mengangkat derajat NU.
Kita mencatat, berkat Gus Dur lah NU harum semerbak dalam percaturan intelektual dan civil society. Padahal sebelumnya NU distigma jumud dan terbelakang secara intelektual.
Bahkan sejak era Gus Dur, panggilan Gus naik ke tingkat nasional dan bertuah. Dan berbarokah secara politik. Sampai para politisi mengubah panggilannya dari Cak menjadi Gus. Padahal sebelumnya, panggilan Gus hanya berputar-putar di dunia pesantren.
Kita juga mencatat, sejak PBNU dipimpin Gus Dur, anak-anak muda pada tahun 80-an bergairah dan tertarik pada NU. Para mahasiswa yang sebelumnya risih mengaku NU, sejak Gus Dur menjadi ketua umum PBNU, justru merasa bangga sebagai warga dan aktivis NU.
Bertolak dari fakta-fakta tersebut, maka mafhum mukhalafahnya (kebalikan hukum dan logikanya) gampang dibuat: Jika ada pemimpin, baik ketua umum parpol maupun ketua umum organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, bahkan pemerintahan, yang alergi kritik dan gila hormat, bisa jadi karena tidak memiliki unsur-unsur positif yang dimiliki Gus Dur. Terutama kemampuan wawasan, pemikiran dan keilmuan. Sehingga mereka pun lalu sensi.
Benarkah? Silakan dikoreksi secara obyektif! Dan yang paling penting, mari kita meneladani Gus Dur dalam pikiran dan tindakan, bukan dalam wacana dan klaim narasi yang tanpa wujud nyata dalam kehidupan.
Wallahua’lam bisshawab.
M Mas’ud Adnan alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair