Tanya-Jawab Islam: Bagaimana Menyikapi LGBT? Bagaimana Menyikapi Orang Mengaku Nabi?

Tanya-Jawab Islam: Bagaimana Menyikapi LGBT? Bagaimana Menyikapi Orang Mengaku Nabi? Dr. KH Imam Ghazali Said

Kemudian, terapi sosial sejak dini harus diberikan kepada putra dan putri kita untuk menghindari perilaku menyimpang di atas. Salah satunya dengan benar-benar mengenalkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara tegas dan jelas, memberikan atribut pakaian atau mainan sesuai dengan jenis kelamin masing-masing (bukan semuanya disamakan). Ini dilakukan agar tidak terjadi transgender dalam pikirannya ketika dewasa dan memberikan contoh yang baik dengan sosok perilaku seorang laki-laki dan sosok perilaku seorang perempuan. Dua sosok itu beda dan saling mengisi.

Kemudian, bahwa rasulullah Muhammad saw adalah Nabi terakhir yang diutus oleh Allah bagi umat manusia. Banyak dalil yang menyatakan hal ini, baik dari Alquran maupun hadis, dan juga menjadi keyakinan mendasar agama Islam (Ushul al-Din) bahwa nabi Muhammad adalah utusan terakhir, tidak ada Nabi setelah beliau.

Allah berfirman dalam surat al-Ahzab:

“Bukanlah Muhammad itu bapak salah satu dari kalian, tetapi dia adalah rasul (utusan) dan penutup para Nabi”. (Qs. al-Ahzab:40).

Abu Hurairah melaporkan hadis bahwa rasul bersabda:

“Perumpamaan saya dengan para nabi terdahulu, seperti orang membangun gedung dan memperindah gedung itu dan menyempurnakannya, kecuali satu bagian di sisi sudut. Lalu orang-orang mengelilinya dan bertanya: ‘kenapa sudut itu tidak disempurnakan dengan batu ini?’. Nabi menjawab: sayalah batu itu dan penutup para Nabi”. (Hr. Muslim)

Masih banyak deretan dalil-dalil yang menyatakan bahwa nabi Muhammad adalah utusan terakhir. Nah, bagaimana sikap kita terhadap orang-orang yang mengaku nabi? Pertama, kita tidak usah percaya terhadap pengakuan mereka, sebab sudah jelas bahwa nabi terakhir itu sudah turun 1400 tahun yang lalu, dengan bukti-bukti di atas.

Kedua, memberikan pencerahan dan pemahaman kepada si pengaku nabi bahwa keyakinannya itu tidak benar. Derajat kenabian sudah ditutup dengan diutusnya nabi Muhammad saw. Dan bila perlu diberikan terapi yang benar, takutnya si pelaku terkena gangguan mental dan psikologisnya.

Ketiga, jika pengakuannya itu tidak disebarluaskan, maka cukup diberikan sikap yang arif dan penyadaran baginya. Namun, jika yang bersangkutan menyebarluaskan ke khalayak umum dan membuat resah umat, maka perlu tindakan pencegahan, yang hal ini otoritasnya berada pada kuasa penegak hukum. Sebab masyarakat umum dilarang untuk melakukan penghakiman sendiri kepada pelaku yang meresahkan itu. Ini adalah sikap yang arif menurut pandangan saya.

Sikap seperti ini didasarkan pada sebuah hadis laporan Abu Said al-Khudri, bahwa rasul bersabda:

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia cegah dengan tangannya, apabila tidak mampu, hendaklah ia mencegah dengan lisannya, apabila tidak mampu juga hendaklah ia mengingkari dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman”. (Hr. Muslim)

Memang di sana ada pandangan para ulama yang lebih tegas dan keras, yaitu dengan harus memvonis pelaku yang mengaku-ngaku menjadi Nabi itu dihukum mati. Sebab si pelaku yang mengaku nabi itu sudah murtad, dan orang murtad adalah orang yang mengganti agamanya, dan orang yang mengganti agamanya boleh halal darahnya, apalagi mengaku nabi.

Pandangan hukum ini terkesan tegas, tapi tidak solutif bagi pelaku dan masyarakat. Artinya bagaimana sikap kita terhadap masalah ini tidak menimbulkan masalah baru yang mengesankan Islam itu ganas. Nah, tahapan-tahapan proses dalam melihat masalah itu perlu dilakukan agar arif dan bijak. Hukuman keras itu hanya dapat menjadi solusi puncak di saat sudah tidak ditemukan jalan keluar lain, dan jika dibiarkan akan merusak lingkungan sosial beragama. Wallahu a’lam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO