Tanya-Jawab Islam: Bagaimana Menyikapi LGBT? Bagaimana Menyikapi Orang Mengaku Nabi?

Tanya-Jawab Islam: Bagaimana Menyikapi LGBT? Bagaimana Menyikapi Orang Mengaku Nabi? Dr. KH Imam Ghazali Said

>>>>>> Rubrik ini menjawab pertanyaan soal Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan pembimbing Dr. KH. Imam Ghazali Said. SMS ke 081357919060, atau email ke bangsa2000@yahoo.com. Jangan lupa sertakan nama dan alamat. <<<<<<

Pertanyaan:

Assalamualaikum wr wb. Maaf sebelumnya Pak Yai. Saya mau nanya, bagaimana tindakan kita pada LGBT dan apakah kita harus membenci orangnya? Dan yang kedua bagaimana sikap kita dengan orang yang mengaku dirinya sebagai nabi? Syukran Katsir. (Hamba Allah, Surabaya)

Jawab:

Lesbian, gay, biseksual dan transgender atau yang populer dengan istilah LGBT, adalah sebuah kelompok yang mempromosikan model kehidupan hubungan laki-laki dengan laki-laki atau hubungan perempuan dengan perempuan atau hubungan dengan dengan laki-laki dan perempuan secara bersama-sama. Hubungan seperti ini dalam sosial masyarakat dianggap menyimpang dari kodrat sebagai manusia normal. Ahli psikolog dan psikiater menyatakan bahwa kondisi semacam ini merupakan serangan penyakit yang dapat disembuhkan melalui terapi yang benar.

Islam melalui Alquran sudah mengenal model kehidupan seperti ini jauh sebelum kehidupan modern ini ada dan semarak. Bahkan istilah sodomi yang identik dengan pelaku sesama jenis itu berasal dari istilah nama sebuah kota Sodum, penduduknya adalah umat nabi Luth.

Cerita penduduk Sodum ini terdapat pada surat al-Naml: 54-58. Di antara firman Allah yang menjelaskan bahwa perbuatan orang-orang Sodum ini tidak benar adalah:

“Mengapa kalian mendatangi laki-laki bukan perempuan untuk melampiaskan syahwat, sungguh kalian tidak mengetahui (akibat dari perbuatan kalian ini)”. (Qs. al-Naml: 55)

Oleh sebab itu, dengan apapun dalihnya LGBT sebagai model kehidupan tidak dibenarkan dalam Islam. Namun, LGBT sebagai sebuah kasus harus segera dilakukan penanganan dan pengobatan.

Sebagian ulama bersikap keras kepada kelompok LGBT ini dan bahkan mengancam pelakunya harus dihukum mati atas perbuatannya. Pandangan ini berdasarkan sebuah hadis laporan Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda:

“Barang siapa yang mendapati seseorang yang melakukan perbuatan kaum nabi Luth, maka bunuhlah ia dan pasangannya sekaligus. Dan barang siapa mendapati seseorang bersetubuh dengan binatang, maka bunuhlah ia dan binatang itu juga”. (Hr. Ahmad:1138)

Namun, dalam kehidupan sosial modern seperti sekarang ini kita perlu bersikap arif, sehingga dapat menghindari hal-hal yang bersifat provokatif di tengah-tengah masyarakat. Jika LGBT itu dikampanyekan untuk menjadi sebuah tatanan sosial masyarakat, didengung-dengungkan secara masif di media massa dan sosial dan dapat berpotensi merusak tatanan sosial yang sudah sehat dan mapan ini, maka kita boleh bersikap tegas seperti pandangan ulama di atas. Yaitu berupaya untuk mencegah mewabahnya virus LGBT itu berkembang.

Tapi, LGBT sebagai personal korban sosial atau korban penyakit, kita sebagai umat yang sehat wajib memberikan pertolongan dengan memberikan terapi yang benar untuk menyembuhkannya dari ketidak-normalan ini. Informasi yang benar dan mengajak interaksi dengan baik akan banyak memberikan bantuan moril untuk segera sembuh dari psikologisnya yang sedang sakit.

LGBT model yang seperti ini, kaum Muslim tidak boleh membiarkan dan membencinya bahkan wajib memberikan pertolongan. Kita boleh membenci perbuatannya yang salah, tapi bukan pelaku yang sedang sakit itu. Maka, pelaku korban harus kita tolong dengan memberikan pencerahan dan tempat yang dihormati di tengah-tengah masyarakat.

Kemudian, terapi sosial sejak dini harus diberikan kepada putra dan putri kita untuk menghindari perilaku menyimpang di atas. Salah satunya dengan benar-benar mengenalkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara tegas dan jelas, memberikan atribut pakaian atau mainan sesuai dengan jenis kelamin masing-masing (bukan semuanya disamakan). Ini dilakukan agar tidak terjadi transgender dalam pikirannya ketika dewasa dan memberikan contoh yang baik dengan sosok perilaku seorang laki-laki dan sosok perilaku seorang perempuan. Dua sosok itu beda dan saling mengisi.

Kemudian, bahwa rasulullah Muhammad saw adalah Nabi terakhir yang diutus oleh Allah bagi umat manusia. Banyak dalil yang menyatakan hal ini, baik dari Alquran maupun hadis, dan juga menjadi keyakinan mendasar agama Islam (Ushul al-Din) bahwa nabi Muhammad adalah utusan terakhir, tidak ada Nabi setelah beliau.

Allah berfirman dalam surat al-Ahzab:

“Bukanlah Muhammad itu bapak salah satu dari kalian, tetapi dia adalah rasul (utusan) dan penutup para Nabi”. (Qs. al-Ahzab:40).

Abu Hurairah melaporkan hadis bahwa rasul bersabda:

“Perumpamaan saya dengan para nabi terdahulu, seperti orang membangun gedung dan memperindah gedung itu dan menyempurnakannya, kecuali satu bagian di sisi sudut. Lalu orang-orang mengelilinya dan bertanya: ‘kenapa sudut itu tidak disempurnakan dengan batu ini?’. Nabi menjawab: sayalah batu itu dan penutup para Nabi”. (Hr. Muslim)

Masih banyak deretan dalil-dalil yang menyatakan bahwa nabi Muhammad adalah utusan terakhir. Nah, bagaimana sikap kita terhadap orang-orang yang mengaku nabi? Pertama, kita tidak usah percaya terhadap pengakuan mereka, sebab sudah jelas bahwa nabi terakhir itu sudah turun 1400 tahun yang lalu, dengan bukti-bukti di atas.

Kedua, memberikan pencerahan dan pemahaman kepada si pengaku nabi bahwa keyakinannya itu tidak benar. Derajat kenabian sudah ditutup dengan diutusnya nabi Muhammad saw. Dan bila perlu diberikan terapi yang benar, takutnya si pelaku terkena gangguan mental dan psikologisnya.

Ketiga, jika pengakuannya itu tidak disebarluaskan, maka cukup diberikan sikap yang arif dan penyadaran baginya. Namun, jika yang bersangkutan menyebarluaskan ke khalayak umum dan membuat resah umat, maka perlu tindakan pencegahan, yang hal ini otoritasnya berada pada kuasa penegak hukum. Sebab masyarakat umum dilarang untuk melakukan penghakiman sendiri kepada pelaku yang meresahkan itu. Ini adalah sikap yang arif menurut pandangan saya.

Sikap seperti ini didasarkan pada sebuah hadis laporan Abu Said al-Khudri, bahwa rasul bersabda:

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia cegah dengan tangannya, apabila tidak mampu, hendaklah ia mencegah dengan lisannya, apabila tidak mampu juga hendaklah ia mengingkari dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman”. (Hr. Muslim)

Memang di sana ada pandangan para ulama yang lebih tegas dan keras, yaitu dengan harus memvonis pelaku yang mengaku-ngaku menjadi Nabi itu dihukum mati. Sebab si pelaku yang mengaku nabi itu sudah murtad, dan orang murtad adalah orang yang mengganti agamanya, dan orang yang mengganti agamanya boleh halal darahnya, apalagi mengaku nabi.

Pandangan hukum ini terkesan tegas, tapi tidak solutif bagi pelaku dan masyarakat. Artinya bagaimana sikap kita terhadap masalah ini tidak menimbulkan masalah baru yang mengesankan Islam itu ganas. Nah, tahapan-tahapan proses dalam melihat masalah itu perlu dilakukan agar arif dan bijak. Hukuman keras itu hanya dapat menjadi solusi puncak di saat sudah tidak ditemukan jalan keluar lain, dan jika dibiarkan akan merusak lingkungan sosial beragama. Wallahu a’lam.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO